“Buku adalah prasasti bagi masa depan. Ia akan senantiasa dikunjungi (dibaca) sebagai upaya menjaga “warisan”. Bahkan jika dikemas dalam bentuk eksklusif, buku bisa menjadi souvenir paling indah.” Buka Ayu Arman pada acara NgopiBuku di Kedai Rindu, Bogor (21/11).
Perbincangan menarik mengalir, tentang proses kreatif menulis buku memoar atau biografi. Banyak tanya-jawab seputar tantangan menulis “buku pesanan” antara pengunjung NgopiBuku dan Ayu Arman.
Ayu Arman adalah seorang perempuan yang banyak menulis buku memoar. Ia memulai penulisan memoar dengan memberanikan diri untuk melepaskan jabatannya sebagai redaktur pelaksana majalah wanita Paras.
“Hidup adalah sebuah pilihan. Saya harus memilih meninggalkan jabatannya untuk dapat fokus mengerjakan proyek penulisan buku memoar pertama saya.” Ungkap Ayu saat menjawab pertanyaan kenapa berani meninggalkan jabatan yang cukup prestige di media mainstream.
Buku memoar pertamanya adalah tentang seorang Bupati di Raja Ampat. Saat itu ia berani mengambil proyek yang nilainya termasuk murah jika melihat lokasi risetnya di Raja Ampat. Tetapi proyek pertama harus dikerjakan dengan baik sebab ia yakin jika itu selesai, proyek-proyek buku memoar lainnya akan datang dengan sendirinya. Menjaga relasi dan kualitas buku, adalah pintu yang akan membuka peluang berikutnya.
Menulis memoar bukan tanpa tantangan. Salah satunya adalah anggapan dari rekan penulis lainnya yang menganggap penulis buku memoar adalah “menjual kecap”, hanya menuliskan hal-hal baik tentang narasumber (klien). Anggapan tersebut ditepis Ayu dengan tidak sekadar membabar profil tokoh, tetapi juga memasukkan perspektif budaya sang tokoh.
Tantangan lain dalam menulis buku memoar adalah pandangan negatif terhadap dirinya sebagai perempuan single parent. Ada saja orang yang mencibir ia memanfaatkan kejandaannya untuk mendekati klien. Memang, dalam beberapakali pengalamannya menjalin relasi dengan klien, ada juga yang meminta lebih, pelayanan di luar penulisan buku. Tantangan tersebut ia hadapi dengan ketegasan bahwa ia hanya menulis buku, tidak memberikan “layanan” selain itu. Ada yang batal karena ia tak mau melayani? “Banyak!” jawabnya sambil menekankan bagaimana sebaiknya perempuan bersikap.
Memoar adalah cerita hidup (kisah perjalanan). Menulis memoar adalah merangkai cerita yang terserak di sekitar kehidupan sang tokoh, cerita yang benar-benar dialami. Manusia adalah cerita dan memiliki episode khas dan beragam pada setiap orang.
Meski memoar itu mengangkat kisah seseorang, namun pada hakikatnya memoar itu bukan tentang orangnya (subyek), melainkan tentang proses, nilai-nilai yang sifatnya universal. Kita harus bisa menggali cerita di balik keberhasilan seorang tokoh, sehingga tak menjadi sekadar catatan kehidupannya, tetapi juga bisa menawarkan pengetahuan, perspektif, dan menggugah rasa terdalam pembaca.” Ayu menutup kisahnya sebagai penulis buku memoar.
Leave a Reply