Pemilu 2014 sudah dimulai dengan kampanye Partai Politik yang mengusung banyak Caleg yang tak dekat dengan masyarakatnya sendiri. Poster dan baliho Caleg memenuhi tepi jalan, perempatan, pepohonan, dan segala tempat yang biasanya cenderung merusak pemandangan. Lihat saja tumpukan poster dari beberapa Caleg pada satu tiang, tembok, atau pohon. Media kampanye yang biasanya hanya menjadi sampah-sampah pemilu itu seolah mengiba dukungan menuju gedung legislatif.
Belum lagi masalah pemasangan media kampanye yang mengurangi keindahan, kita pun diteror dengan ancaman dan kecaman, andai memilih Golput, seperti fatwa haram yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Apakah pantas upaya penegakan demokrasi dilakukan dengan kecaman haram? Ngapain sih MUI urus soal politik?
Menurutku tak sepantasnya MUI menjadi mesin politik. Menjadikan agama sebagai alat untuk membantu para Caleg dan Capres memuaskan nafsu politiknya. Lebih baik MUI mengurus rumah tangganya sendiri, seperti misalnya menertibkan selebritadz (ustadz yang sering bergaya di TV) yang kadang berperilaku tak senonoh. Atau misalnya menertibkan anggotanya yang sempat meramaikan media publik dengan kasus mesum. Kupikir itu lebih pantas diprioritaskan ketimbang ikut campur persoalan politik.
Ikut campurnya lembaga keagamaan dalam bingkai politik, lazimnya hanya akan menyekap idealisme dengan “kepentingan”. Penyelenggaraan beberapakali PEMILU banyak menebar fakta tentang Caleg yang hanya bisa mengumbar janji-janji, yang mereka sendiri tak tahu bagaimana cara menebusnya.
Lagi pula urusan memilih anggota legislatif kupikir sama seperti perkara syubhat (meragukan). Aku tak yakin kalau para Caleg itu bisa dipercaya untuk tak mementingkan akses (kekuasaan dan bisnis), dan tak memanfaatkan fasilitas hanya untuk keluarga dan Parpolnya saja. Aku tak yakin mereka mau mengorbankan harta dan jiwa untuk rakyat, sebab sebelum jadi anggota legislatif saja mereka sibuk mencari sumber dana untuk memenangkan persaingan, bukan hanya terhadap lawan parpol, bahkan dalam satu Parpol. Lazimnya, setelah “Jadi” mereka hanya fokus menghalalkan segala cara untuk melunasi utang politik. Inkonsistensi dan lupa terhadap janji-janji itulah yang memicu keraguanku. Dalam perkara yang meragukan, lebih baik kutinggalkan.
Lagi pula tak ada Undang-Undang yang melarang Golput. Yang ada adalah larangan membuat seseorang kehilangan hak pilihnya. Itu pun ditujukan kepada mereka yang punya akses kuasa, sebagaimana Pasal 293 UU No.8/2012.
Pasal 292 UU No 8/2012 tentang Pemilu menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Duapuluh Empat Juta Rupiah.
Pasal 293 mengatur, setiap orang yang dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan, atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Tigapuluh Enam Juta Rupiah.
Mencermati pasal tersebut, Pengamat Politik Ray Rangkuti berpandangan, Pasal tersebut dapat digunakan untuk menuntut Kemdagri karena sejauh ini belum menyediakan NIK kepada 2,1 juta penduduk yang otomatis terancam kehilangan hak pilihnya. Bahkan ia menilai larangan Golput adalah teror yang menekan masyarakat agar memilih hanya untuk menghindari ancaman pidana yang tak jelas landasan hukumnya.
Lalu apakah dalam PEMILU aku GOLPUT? Tidak! Aku tidak Golput. Aku tetap memilih. Memilih untuk melawan. Itu lebih baik daripada membantu mereka yang ujung-ujungnya terjerat dalam jejaring korupsi. Bagaimana melawannya? Tak perlu menggalang massa. Tahu sendirilah tarif peserta demo itu kian hari kian mahal. Daripada buang-buang duit untuk mengundang keriuhan, lebih baik menulis saja di blog atau media sosial. Lawan kebohongan Caleg dan Capres dengan kritik tertulis. Tak masalah jika itu dianggap selemah-lemahnya iman.
Sejak terdaftar sebagai pemilih dalam PEMILU sebelum-sebelumnya, aku kerap ragu untuk memilih Caleg. Berbeda ketika Pilpres, aku selalu ikut memilih. Sebab risiko kekecewaan memilih Caleg lebih besar ketimbang memilih Capres. Meskipun kedua-duanya kadang susah untuk dikoreksi. Mengkritik anggota legislatif, dianggap merecoki proses demokrasi. Mengkritik Presiden, dikecam subversif, melakukan perbuatan tak menyenangkan terhadap Kepala Negara, dan ancaman maupun kecaman lain yang intinya bukan sekadar membungkam suara kritis rakyat, tetapi menginjak-injak martabat rakyat sebagai pihak yang memberi mereka mandat.
Kita ini rakyat. Kita yang memilih siapa yang menjadi Presiden. Akan tetapi kenapa setelah Pemilu selesai, posisi kita tak ubahnya seperti orang jajahan yang dibuat takut terhadap Pemerintah? Mengapa setelah Presiden terpilih mengelola pemerintahan posisi kita menjadi seperti budak yang tak boleh mengkritik majikan? Padahal UUD 1945 menjamin kebebasan berekspresi dan berkomunikasi bagi warga negara, tetapi ketika kita melakukan hak untuk mengingatkan (kritik) malah dibungkam dengan berbagai peraturan yang bisa memenjarakan? #AkuKuduPiye Tweeps?
Kembali ke perkara Golput. Penyelenggara Pemilu sebenarnya tak perlu berlebihan mengkhawatirkan ketidaksuksesan. Sebab kekhawatiran yang berlebihan, justru mengundang ketidaksuksesan tersebut. Ingat kata-kata klise sang Motivator: Law of Attraction! Berlagaklah seperti leaders MLM yang selalu berpikiran positif dan mampu meyakinkan diri sendiri bahwa kesuksesan akan datang jika Anda berpikir pasti sukses. Mind Power!
Atau jika tak suka dengan bacot Motivator, ikutilah nasihat selebritadz tentang berprasangka baik. Dengan berprasangka baik, maka kebaikan itu akan datang dengan sendirinya. Sebaliknya jika Anda berprasangka buruk, maka keburukanlah yang akan menjadi hari-harimu. 😀
Jika Anda masih takut juga PEMILU gagal, coba baca lagi sejarah PEMILU di Indonesia, apakah pernah GOLPUT menggagalkan PEMILU? Justru yang sering merecoki pemilu adalah para kontestan sendiri yang berlaku curang untuk mencapai kemenangan. Jadi, saranku, jangan takut terhadap GOLPUT. Lebih baik awasi dan bertindak tegas kepada para peserta PEMILU yang melanggar aturan kampanye. Itu!
Leave a Reply