Komite Sekolah Bukan Celengan

 

Ada kekeliruan dalam memahami keberadaan dan fungsi Komite Sekolah. Kekeliruan itu berjalan cukup lama sehingga fungsi yang sebenarnya dari Komite Sekolah tak terwujud.

Aku pernah berbincang tentang komite sekolah pada tahun 2000. Ya, 13 tahun lalu saat mengelola sebuah sekolah dasar di bilangan Bekasi. Ide Komite Sekolah pada awalnya merupakan pengganti Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) atau Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG). Komite Sekolah dicetuskan agar fungsinya tak sekadar menjadi perpanjangan tangan sekolah untuk mencari tambahan dana tetapi lebih dalam lagi, yaitu peran masyarakat selingkungan dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan transparan. Tetapi rupanya di beberapa sekolah, tujuan tersebut tak dipahami. Komite Sekolah tetap saja menjadi “celengan” guru atau sekolah yang serba kekurangan biaya untuk menjalankan programnya.

Kekeliruan bukan hanya ada pada pihak sekolah. Orang tua murid pun banyak yang hanya tahu sedikit tentang Komite Sekolah, yaitu sekadar perkumpulan orang tua untuk satu tujuan: menggalang dana. Pengurus Komite Sekolah hanya menjadi penagih biaya ini-itu yang tak cukup tepat. Misalnya menjadi “agen” penjualan buku pengayaan seperti LKS, penagih uang ekstrakurikuler, les yang dikelola guru kelas, dan hal lain seperti uang piknik maupun pembangunan pagar.

Yang lebih keliru lagi, ada sekolah yang membentuk Komite Sekolah di setiap kelas. Tujuannya hanya satu, agar lebih mudah menagih biaya yang dibebankan kepada orang tua murid di setiap kelas.

Padahal Komite Sekolah tak berperan sesederhana itu. Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan di luar sekolah (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002)

Komite Sekolah sebenarnya dibentuk dengan 4 peran penting, yaitu sebagai Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan; Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan; dan sebagai Mediator antara pemerintah dengan masyarakat di sekolah.

Sayangnya dari keempat peran tersebut, di beberapa sekolah, Komite Sekolah diplot hanya sebagai Financial Supporting Agency. Tiga peran lainnya sama sekali tak dipahami. Misalnya urusan transparansi dan akuntabilitas sekolah, perencanaan kebijakan pendidikan, dan menjalin kerja sama dengan pemerintah maupun kalangan bisnis yang ada di lingkungan sekolah.

Andai ketiga peran lainnya berjalan, boleh jadi kualitas pendidikan akan lebih terlihat kemajuannya. Permasalahan keuangan pun juga tak hanya bersumber dari orang tua murid saja. Pelibatan sektor bisnis bisa menjadi solusi, terutama untuk mengurangi praktik pencarian uang tambahan oleh guru.

Memprihatinkan jika saat ini masih ditemukan guru yang mencari tambahan penghasilan dengan, misalnya membuka les untuk muridnya sendiri namun tak efektif. Bagaimana bisa efektif jika les tersebut tetap diselenggarakan sekelas dan di kelas, usai jam pelajaran sekolah. Bahkan pernah kudapatkan kegelisahan orang tua yang anaknya tidak diperkenankan les di luar sekolah dan diharuskan mengikuti les yang dibuka oleh guru kelasnya sendiri. Jika tak menurut, nilainya terancam selalu di bawah mereka yang les bersama gurunya sendiri. Naif dan memprihatinkan.

Selama peran dan tujuan Komite Sekolah tak dapat dikembalikan sebagaimana mestinya, maka kualitas penyelenggaraan pendidikan tak akan pernah baik. Berbagai pungutan yang memberatkan orang tua murid dari kalangan tak berpunya tetap saja ada. Rasanya jadi percuma sekolah gratis namun tetap ada pungutan “ini-itu”.

Selama Komite Sekolah tak kembali pada perannya sesuai keputusan resmi (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002) transparansi dan akuntabilitas sekolah tak akan pernah terwujud.

Begitulah. Bagaimana komite sekolah di sekolahmu?


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

10 responses to “Komite Sekolah Bukan Celengan”

  1. @niarnonanino Avatar
    @niarnonanino

    RT @mataharitimoer: Komite Sekolah Bukan Celengan http://t.co/pAhzhyPglE

  2. Chandra Iman Avatar
    Chandra Iman

    thanks kang, jadi lebih jelas mengenai komite sekolah ini walau saat ini saya belum berkecimpung di dalamnya 🙂

    1. MT Avatar
      MT

      Sama2 kang CI

  3. Forum Blogfam (@blogfam) Avatar
    Forum Blogfam (@blogfam)

    #BlogFamers Komite Sekolah Bukan Celengan:   Ada kekeliruan dalam memahami keberadaan dan fu… http://t.co/1l0JDxszfo – @mataharitimoer

  4. MT (@mataharitimoer) Avatar
    MT (@mataharitimoer)

    RT @blogfam: #BlogFamers Komite Sekolah Bukan Celengan:   Ada kekeliruan dalam memahami keberadaan dan fu… http://t.co/1l0JDxszfo – @mata…

  5. MT (@mataharitimoer) Avatar
    MT (@mataharitimoer)

    Komite Sekolah Bukan Celengan | #blogMT http://t.co/bgBfT16Has

  6. @metimediya Avatar
    @metimediya

    *kerutkening* ke tekapeh RT”@mataharitimoer: komite sekolah berubah menjadi celengan.
    http://t.co/AGVoQOWjzZ #BlogMT”

  7. Meti Mediya Avatar
    Meti Mediya

    Aduh aku pengurus komite sekolah di skul anakku loh om. #gakNanya..:P .tapi tidak celengan ah..hihiw..

    1. MT Avatar
      MT

      beruntunglah kamu. di sini ada yg seperti celengan. semua kegiatan minta ke ortu via komite sekolah. kasihan ortu yg gak mampu

  8. Anis Fuadi Avatar
    Anis Fuadi

    Sepakat Mas! Komite Sekolah bukanlah kasir, apalagi jadi garda terdepan manajamen sekolah dalam memobilisasi dana dari para Ortu siswa…

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.