Pagi itu aku di dalam angkot menuju terminal. Dua orang penumpang di depanku asyik berbincang. Yang satu membanggakan kehebatan smartphone kakaknya yang memiliki fasilitas terkini. Temannya, membalas dg kecanggihan blackberry milik sepupunya, sambil menggenggam handphone monokrom yang bentuknya seperti ulekan mini, di tangan kirinya.
Aku tersenyum melihat mereka. Bukan tentang handset yang mereka ulas, tapi soal membanggakan sesuatu yang tak benar-benar mereka miliki.
Pernah juga tetanggaku bercerita tentang seorang artis cantik yang kini menjadi anggota legislatif. Dengan bangganya ia menceritakan bahwa artis itu pernah satu sekolah dengan saudara sepupunya, walaupun tidak sekelas. Lalu ia menceritakan segala hal tentang artis tersebut, yang sebenarnya sudah kuketahui dari beragam media. Ceritanya baru selesai setelah aku menyampaikan pujian, “Hebat, berarti kamu kenal banget sama artis itu, ya?”
Temanku yang baru khatam buku Hacking sedang getol-getolnya mempraktikkan “santet digital”nya. Ia mencoba melakukan hack pada sebuah komputer milik temanku yg lain. Esok harinya, dengan bangga ia menceritakan pengalaman barunya itu di depanku. Malam harinya, temanku yg kena hack (basic level) memberikan nasehat padanya, dengan mematikan semua fungsi networking dan internet pada laptopnya dari jarak jauh, agar tak mencari kelinci percobaan lagi.
Begitulah manusia. Kadang membanggakan sesuatu yang tak dimilikinya. Kadang membanggakan sesuatu yang masih menjadi impiannya. Kadang membanggakan suatu hal yang menurut orang lain sangat, sangat biasa. Kebanggaan seperti itu biasanya muncul karena ingin dianggap berbeda dan lebih baik dari yang lain. Tak lebih.
Leave a Reply