Judulnya niru-niru judul media online zaman sekarang. Biar kamu penasaran mau baca. Padahal banyak juga yang udah muak baca judul kayak gitu. ya kan?
Di era smartphone dan media sosial menjadi bagian dari indera dan emosi kita, kita hidup di tengah apa yang disebut Felix Stalder sebagai “budaya digital”. Hlah, siapa sih Felix Stalder? Dia Profesor Budaya Digital di Zurich University of the Arts, yang nulis buku berjudul The Digital Condition (2018).
Menurut Stalder, budaya digital adalah serangkaian praktik kolektif yang muncul di sekitar teknologi berbasis komputer yang terhubung ke jaringan. Singkatnya, Budaya Digital adalah BD, hehehe. Itu mah singkatan ya. Jadi simpelnya, budaya digital adalah cara hidup kita yang dipengaruhi oleh teknologi digital.
Kalo cuma dipengaruhi sama teknologi digital, sebenarnya istilah budaya digital itu penting gak sih? Apa itu pinter-pinternya orang berpendidikan aja bikin penelitian biar dapat kredit akademik? Lalu kalo zaman sebelum era digital disebut budaya apa dong? Budaya analog? budaya konvensional? Nggak ada juga kan? Ah, ini pikiran picik gue sih. Kadang-kadang gue kalo nulis ya gini. Suka melawan pikiran gue sendiri yang lagi ngalir.
Tapi yawdalah ya, namanya hidup kan kadang perlu justifikasi akademik, biar terkesan ada dasar pemikiran. Apalagi saat ini dah makin banyak fenomena sosial dan politik yang dipengaruhi oleh tren digital. Jadi kayaknya, perlu dong para akademisi merilis penelitian karena teknologi sangat mempengaruhi perilaku. Weisss, anak milenial bakal nulis gini: ((( teknologi sangat mempengaruhi perilaku )))
Sekarang lihat di sirkel terdekat kita. Atau mungkin kamu lagi baca tulisan saya di smartphone. Mungkin kamu juga baru aja chattingan atau ngecek update di IG Story atau Tiktok. Mungkin juga kamu baru selesai ngeZoom atau Gmeet sama bos yang gak kenal istirahat. Nah, itu semua contoh sederhana bagaimana teknologi mengubah cara kita berkomunikasi, kerja, healing dan flexing. Ini yang disebut budaya digital.
Apa aja sih aspek budaya digital yang dibahas sama Stalder? Ada 6 aspek nih.
1. Komunitas Online
Dulu, komunitas kita terbatas pada lingkungan fisik. Sekarang, melintas jarak dan zona waktu. Kita bisa bergabung dengan grup apapun di FB, WA, Tele, Wire, Discord, dan segala macam platform-lah. Anggotanya juga tersebar di seluruh dunia, termasuk Bojongsoang. Stalder menyebut ini sebagai “komunalitas digital”. Misalnya, penggemar K-pop di Indonesia bisa terhubung dengan penggemar lain di Brasil atau Kanada, membentuk komunitas global yang tidak terbatas geografis. Apalagi penggemar sepakbola maupun sepakterjang. Emang ada? Bisa diada-adain kok kalau bapak mau.
2. Pengetahuan dan Informasi
Kapan terakhir kamu ke perpustakaan buat cari referensi? Si Ojak nyahut, “Cari referensi? gue ke perpustakaan cari gebetan”. Hm, soal Ojak -Playboy Cap Duren Somplak- kapan-kapan dirilis deh ceritanya. Udah lama tuh cerita gue pendam.
Sekarang, kita punya “perpustakaan” di ujung jari. Wikipedia adalah contoh populer dari apa yang Stalder sebut sebagai “commons digital”, sumber daya pengetahuan yang dibangun dan diakses bersama. Ini mengubah cara kita belajar dan berbagi pengetahuan. Belum lagi sumber belajar yang berbasis video, udah banyak banget karena anak sekarang konon lebih suka nonton video ketimbang baca buku (termasuk buku digital). Tapi itu masih konon, saya belum baca penelitian spesifiknya, kecuali dari tren yang dicatat we are sosial aja.
3. Privasi dan Data
Sadar gak sih kalo kita internetan, di medsos, searching, browsing, bahkan nonton streaming, kita meninggalkan jejak digital? Perusahaan pencipta platform digital mengumpulkan data kita untuk berbagai kepentingan. Kepikiran gak, apakah data kita benar-benar “aman” di platform digital? Inilah kenapa perlu juga regulasi yang mengatur pelindungan data pribadi. Di akhir era Jokowi, UU PDP disahkan (2022) dan Oktober 2024 kayaknya bakal mulai diiniin.
Saat ini kesadaran netizen tentang pentingnya data pribadi sudah mulai tumbuh. Saya berterima kasih kepada lembaga negara dan pemerintah yang rela menjadi contoh viral kebocoran data. Dari kasus kebocoran data itulah netizen kita sadar betapa data pribadi mereka itu penting. Di negara-negara maju, rakyatnya tidak belajar dari contoh seperti di negara kita. Memang salutlah aing sama pejabat kita yang sering banget ngasih pelajaran buat rakyatnya.
.
4 . Ekonomi Digital
Gojek, Traveloka, Grab, Shopee, Tokped, adalah contoh platform digital yang menguasai aspek ekonomi digital. Ini menunjukkan bagaimana teknologi mengubah konsep pekerjaan dan pola konsumsi. Dulu nggak kebayang kan kalo kita atau teman kita bisa jadi sopir ojol atak taksi online? atau teman kita yang jadi reviewer hotel, dapat duit dari makan di berbagai pusat kuliner, dapat duit cuma bikin video di Youtube atau Tiktok. Eh, satu lagi, berapa banyak ibu-ibu tetanggamu yang keranjingan Facebook Bisnis? Semua bicara tentang cari duid di era digital dan belanja online.
5. Demokrasi dan Partisipasi
Mungkin ini aspek yang paling gampang disadari. Ingat perseteruan Ahokers vs Anieser yang sampai membawa Ahok ke penjara? Ingat perseteruan Cebong vs Kampret Pemilu 2019? Ingat drama politik yang makin kocak di Pemilu 2024?
Media sosial dan chat telah mengubah cara kita berdiskusi tentang politik dan isu-isu sosial. Kita seolah diadudomba dengan algoritma filter bubble sehingga tak sadar kalau terpenjara di ruang gema (Echochamber).
Kita dengan mudah menyuarakan pendapat atau bergabung dalam gerakan online. Meskipun ini juga membawa tantangan baru: Banjir hoaks melanda hampir semua grup whatsapp dan medsos. Bahkan sampai ada yang rela memutuskan pertemanan dan hubungan keluarga demi membela politisi yang kalau mobilnya lewat, sirinenya teriak-teriak “Orang miskin, minggir woy!”
6. Kreativitas
Dulu, bikin film atau musik adalah privilege segelintir orang. Sekarang, siapa pun dengan smartphone bisa menjadi content creator. Platforms seperti YouTube atau TikTok telah mengubah cara kita memproduksi dan mengonsumsi konten. Bukan cuma dalam konteks seni dan budaya, dalam hal ekonomi dan politik pun, orang makin gampang bikin film atau sekadar video short. Video jualan bukan cuma dalam format iklan seperti yang tayang di TV maupun iklan di streaming, tapi video-video testimoni yang amat mempengaruhi minat belanja netizen.
Itu baru 6 aspek dari budaya digital. Mungkin ada aspek lain yang belum saya ulas karena jujur, saya dah mulai ngantuk nih karena 10 menit yang lalu baru aja nenggak obat batuk. Kalau ada yang mau nambahin, tengkyu banget.
Sebelum menutup, barusan kepikiran, tantangan budaya digital apa aja ya? Meskipun teknologi digital membuka peluang baru untuk pendidikan, bisnis, dan inovasi, namun masih banyak tantangan yang harus kita benahi.
Saya kemarin main ke Halmahera Selatan di Maluku Utara dan Masohi di Maluku Tengah. Selama seminggu di masing-masing kota tersebut, saya kelilingan ke desa-desa. Kesenjangan akses digital terasa banget. Di sana cuma ada sinyal Telkomsel. Itu pun kualitasnya ya 5G yang berasa 3G. Itu dari sisi akses. Belum lagi dari sisi literasi digital, banyak saya temukan warga yang baru mengenal teknologi namun belum memahami risiko yang mengancam mereka.
Dalam pertemuan bersama warga desa, hampir di semua desa -waktu Covid19- mengakui kena hoaks “makan telur tengah malam” sampai harga telur melambung tinggi. Belum lagi yang kena tipu undangan.apk, paket, video call bugil lalu diancam pakai skrinsutan, dan impersonasi akun Whatsapp. Bahkan kekerasan seksual pun ada kasusnya di sana. Ini contoh kesenjangan digital dalam aspek literasi yang masih rendah. Ini menjadi PR kita bersama.
Jadi, apa artinya ini semua? Artinya, tinggal buka google translate. Lu bebas mengartikan ke bahasa apa aja.
Saya menyimpulkan budaya digital bukan sekadar perkembangan teknologi atau aplikasi. Ini juga tentang bagaimana teknologi mengubah cara kita berpikir, berinteraksi, dan memahami dunia. Bagaimana kita memahami keterkaitan antara satu dan lainnya yang terhubung maupun menghubungkan kita melalui platform digital. Kalau orang pintar bilang, ekosistem digital. Itu yang mesti kita bangun pemahaman kepada masyarakat kita. Terutama kepada pejabat-pejabat yang menguasai anggaran, semoga mau menganggarkan lebih serius lagi untuk meningkatkan literasi digital masyarakatnya, agar budaya digital masyarakat kita semakin relevan.
Kasihan warga kita, masih ada yang memanfaatkan Status Whatsapp cuma buat curhatin pasanganya yang sableng. Ya, meskipun itu budaya baru juga sih, budaya curhat pun bergeser ke platform digital, tapi ya gak gitu juga para bos-bos yang terhormat. Yuklah, kita bangun literasi masyarakat kita. Kalau literasi mereka tinggi, martabat daerah kita pun otomatis tinggi juga (anggarannya) hahaha… Kenapa jadi bahas anggaran sih gue.
Terakhir beneran. Budaya digital juga bakal membahas perkembangan Artificial Intelligence. Kemarin saya sempat ditanya di satu podcast, “mas MT, apa ancaman AI buat manusia?” Saya jawab, “Kebanyakan orang mikir, apa ancaman AI buat manusia, mestinya kita bertanya juga, apa ancaman manusia terhadap AI?”
24 September 2024
Mataharitimoer
Leave a Reply