Yang Tersembunyi di Manado

Mendengar tentang Manado, kebanyakan orang langsung tertuju perhatiannya ke Bunaken. Begitu pun dengan teman-temanku, yang sebelum pesawat mendarat di Bandara Sam Ratulangi, mereka sudah merencanakan kapan harus menikmati keindahan di Bunaken. Itu mainstream, menurutku.

Tak bisa kupungkiri Bunaken memang menawan. Itu adalah kebanggaan Manado. Orang yang berkunjung ke Manado lazimnya harus ke Bunaken. Bahkan ada yang berseloroh, “belum ke Manado kalau belum ke Bunaken.” Namun aku masih ingin menemukan ketidaklaziman. Pasti ada lagi yang lain selain Bunaken. Ada lagi yang jarang dibanggakan orang namun memiliki keindahan yang boleh diadu. Seperti biasa ketika aku jalan-jalan di berbagai daerah, hal-hal yang bersifat kebetulan biasanya menyimpan ketidaklaziman yang kucari. Itu masih terjadi di Manado.

Sore sekali temanku mengirimkan pesan lewat Whatsapp.

“Di mana, Te?”
“5567.”
“Ayo naik perahu saja!”
“Nah, Ayo!”
“Kutunggu di pinggir jalan ya!”

Aku bergegas meninggalkan kamar 5567 Lion Hotel (sebenarnya kamar IB dan FED yg kutumpangi krn mereka baik hati) menuju pinggir jalan di mana Pakdhe Blontankpoer menungguku. Ia menunjuk ke bawah, tempat sekitar 4 perahu nelayan diam mengering di atas pasir. Di sekitar perahu itu kami motret-motret keadaan sekitar. Sampah, daun, tulang, pasir, lubang kepiting, dan apa pun yang menarik perhatian.

Dua orang nelayan turun. Mereka mendorong perahu untuk memancing. Sayang sekali mereka akan memancing sampai pagi di tengah Teluk Manado di sekitar Gunung Manado Tua. Waktu kami tak memungkinkan untuk ikut, sebab sekitar jam 8 malam masih ada acara bersama teman-teman.

Akhirnya keberuntungan tiba. Turunlah seorang lelaki yang berperawakan tinggi. Ia menyapa kami duluan. “Dari mana? Jawa?” Tanyanya ramah.

Aku menjawab asalku Jakarta, sedangkan Pakdhe bilang Solo. Ia pun menyatakan sebenarnya kepingin ikut naik perahu nelayan tadi, tetapi tak mau sampai pagi. Tak disangka, lelaki yang ternyata pemilik salah satu perahu itu, mengajak kami.

“Ayo naik perahu saya. Saya juga mau santai di sana.” Tunjuknya ke arah tengah laut.

Yuhuuu! Kegembiraan sore itu sepertinya sulit kutuliskan dengan kata-kata. Kami langsung ikut mendorong perahu sang Lelaki keren yang bernama Hanny Rambert itu. Dibantu oleh seorang sahabatnya, Tonny Wuwungan yang mengemudikan mesin, kami berempat memulai persahabatan di Teluk Manado. Mulai dari saling memotret, ngobrol tentang daerah masing-masing, keunikan Manado, soal facebook dan twitter, hingga soal calon presiden yang dipilih masing-masing. Kami berbeda pilihan, tetapi bisa menikmati kebersamaan.


Selintas pikiranku melesat ke Jakarta tempo doeloe. Teringat nama Henk Ngantung, seorang pelukis keturunan China kelahiran Manado, yang menjadi Gubernur DKI Jakarta ke-7. Ini yang harus diingat: Jakarta pernah dipimpin oleh orang Manado. Mungkin banyak orang di sini yang nggak ngeh dengan sosok Henk Ngantung. Bahkan boleh jadi tak ada yang menyadari bahwa Tugu Selamat Datang di Bunderan HI yang menjadi salah satu icon Jakarta itu disketsa olehnya. Bukan cuma itu, Henk juga yang membuat sketsa lambang DKI Jakarta dan lambang Kostrad. Tetapi begitulah, pemerintah kita sendiri kurang apresiatif terhadap karya budaya bangsanya sendiri. Henk, mantan Gubernur DKI itu mengakhiri hidupnya dalam kemiskinan di sebuah gang sempit daerah Cawang.

Hanny Rambert rupanya bukan sekadar nelayan. Ia sesungguhnya seorang Dosen Fakultas Teknik UNSRAT, namun akrab dengan kehidupan nelayan. Memancing ikan menjadi hobinya. Terutama saat bercengkrama bersama sesama, ketika menunggu umpan dimakan maupun saat membakar ikan di darat. Meneer – begitu pak Hanny biasa disapa kawan-kawannya – bisa setiap hari melajukan perahunya menuju tengah Teluk Manado, demi kedamaian ia dapatkan ketika memancing ikan. Kedamaian seperti apa? Karena itulah Meneer Hanny mengajak kami untuk merasakannya langsung. Tak perlu banyak cerita. Tak perlu berpanjang kata. Cukup dirasakan saja ketika perahu melarungkan kami ke tengah lautan.

Matahari mulai terbenam. Mesin dimatikan. Langit memekat. Kesunyian mulai melingkupi sebuah perahu berisi 4 lelaki penikmat sunyi. Inilah rupanya keindahan yang kudapatkan. Betapa kurasakan damai melingkupiku. Hening. Tak ada suara kecuali percikan air di tepian perahu. Tak ada berita kecuali tentang bulan sabit yang senyumnya membuat paduan langit dan laut menjadi lebih indah. Menakjubkan!

“Nikmati saja. Kapan kalian minta, kita baru akan kembali ke darat.” Meneer Hanny membebaskan waktu kami untuk menikmati sunyi yang sulit ditemukan di tengah hiruk-pikuk kota.

Benar-benar sepi, hingga saat kami ingin kembali. Pak Tonny mencoba menyalakan mesin diesel perahu. Tetapi tali starter-nya putus. Jadilah kami mendayung perahu itu menuju darat, di mana kami memulai perjalanan ini.

Memandang dari tengah kegelapan, pendar cahaya gedung-gedung di daratan pun terlihat indah.

Rupanya mendayung perahu di tengah kegelapan, – bagi orang yang baru pertamakali mengalaminya – amat melengkapi pengalaman ini. Sunyi, kecuali suara air yang berkecipak akibat dayung yang digerakkan pak Tonny. Pakdhe Blontankpoer ikut mendayung dengan jengkokan (tempat duduk dari papan). Sedangkan aku tetap menikmati malam di Teluk Manado, menikmati laju perahu, sambil menyimak kisah yang diceritakan Meneer tentang beberapa hal yang berkaitan dengan Manado. Tentang gunung dan desa-desa, tentang Manado ketika masih sepi, juga tentang kegiatan masyarakat sehari-hari.

Masih sekitar 2 kilometer kami harus mendayung perahu. Sebuah perahu lain mendekati perahu kami. Ia adalah sahabat Meneer Hanny juga. Pakdhe Blontankpoer melemparkan tali perahu kami untuk diikat pada perahu yang menderek kami hingga ke tempat di mana kami melanjutkan keakraban dengan canda dan tawa. Termasuk obrolan lebih dalam tentang Jalan Roda yang membuat penasaran, dan tentang Cap Tikus, minuman fermentasi khas Minahasa dengan segala kisah yang melingkupinya.

Ternyata selain Bunaken, Manado menyembunyikan keindahan lain yang kami dapatkan, sebuah pengalaman berperahu di tengah Teluk dan keramahan orang Manado seperti Meneer Hanny, Tonny Wuwungan, dan beberapa temannya. Bahkan aku sempat bercanda. Ternyata preman Manado itu ramah banget, ya!

  • 09/06/2014