Yang Terbengkalai

Aku hidup dalam lingkaran kekuasaan. Hanya melihat dan menyerap dinamika yang ada di sekitarku. Aku tak bisa bicara, karena keberadaanku memang tidak untuk berbicara. Aku gelisah dan mencari kedamaian di luar lingkaran. 

Demung adalah hidupku, namaku. Aku melihat dari dalam, kenyataan yang tak dipahami oleh mereka yang merasa lebih tahu di luar. Aku merasakan dari dalam, suka duka yang tak terumbar. Aku membaca dari dalam, rekayasa yang belum diberlakukan. Aku memilih tetap di dalam, hingga datang saat yang tepat untuk keluar. Dan aku pun keluar.

ini malam pertamaku menelusuri ketinggian puncak malam. Terbetik keinginan untuk terus melangkah. Menjejak tanah basah berlapis dedaunan yang terlepas dari tangkainya karena terhempas angin. Terasa kelelahan meskipun belum berjejak jauh. Pikiranku mengembara. Fokus sudah mulai terasa seperti yang kujalani.

Kami tiba di sebuah telaga. Sang Guru duduk bersila di atas sebuah batu besar di pinggir telaga. Aku berkaca pada genangannya. Kubasuh wajahku yang berdebu dengan air sejuk itu. Aku ceritakan tentang mereka yang melayang dalam belantara dunia. Sang Guru berkata, “Jangan perhatikan mereka! Perhatikan dirimu sendiri!” 

Aku malu. Sang Guru memintaku kembali bercermin pada genangan telaga bening. Kami baru saja menembus belantara malam. Melintasi duapuluh tiga perlikuan. Lelah namun harus kulakukan demi akhir perlikuan yang menjanjikan kedamaian.

Aku duduk bersila di hadapan sang guru. Ia menyampaikan satu permintaan saja, “Buang air dalam gelasmu! Gelas yang penuh tak akan bisa menerima kebajikan baru”.

Kelelahan bisa membuat orang membatalkan rencana. Begitu pun dengan kelelahanku, yang membuat semangatku meredup untuk melanjutkan perjalanan. Kami masih duduk bersama, bercengkrama, Kuberanikan diri bertanya lagi, “Sudah sejak kapan guru menapaki perjalanan ini?” 

“Ceritaku panjang. Kamu akan lelah mendengarkannya!” Jawabnya. Aku berhenti bertanya dan hanya mengikuti apa yang ia lakukan. Melakukan apa yang ia lakukan, bukan apa yang ia perintahkan. Sebab guru adalah teladan, bukan pemerintah bukan pula pemaksa.

Dari sebuah ketinggian, siang tadi aku melihat gerakan riuh sekelompok orang yang juga mendaki gunung ini. Masing-masing saling mendahului, menunjukkan siapa dirinya, siapa yang paling cepat dan tentunya paling hebat. Sepertinya mereka berlomba-lomba menuju pencapaiannya. 

Ingin rasanya mengikuti mereka. Sepertinya berkelompok lebih menyenangkan daripada menyendiri atau berdua saja dengan sang Guru yang tersenyum memerhatikan keinginan yang terbersit di hatiku. “Juara sejati bukanlah mereka yang sanggup mengalahkan lawannya. Juara sejati adalah mereka yang sanggup mengalahkan dirinya sendiri”. 

Kami melanjutkan perjalanan. Menelusuri jalan setapak. Sang Guru kadang berjalan di depanku. Jika medan jejak lebih mudah untuk dilalui, ia pasti berjalan di belakangku. Di depan mencontohkan, di belakang menjaga. 

Terus kami berjalan, hingga langkahku terhenti di depan sebuah makam yang sederhana. Hanya berwujud tumpukan batu sebagai nisannya. pahatan pada batu tersebut menunjukkan nama sang almarhum dalam bahasa Arab.

Sang Guru membimbingku melantunkan dzikrullah dan doa bagi sang mayit. “Yang dikuburkan di sini adalah seorang waliyullah. Beliau memang tak dikenal sejarah. Tapi muridnya hingga kini tetap menyebarkan ajaran-ajarannya hingga ke penjuru dunia.” 

“Siapakah beliau?” Tanyaku kepada Sang Guru

“Nanti kamu akan mengenalnya. Yang tertulis di batu ini hanyalah waliyullah.” Sang Guru beranjak melanjutkan perjalanan. Aku mengikutinya dari belakang. Masih kuperhatikan sesekali kuburan tersebut. Tidak seperti makam orang-orang terkenal yang dibangun dengan megah. Hanya sebuah batu dan sebuah pohon melati sebagai pelengkap pusaranya. 

Sang Guru berhenti dan memerhatikan aku yang masih terpana pada makam tersebut. “Teramat banyak mereka yang berjasa dalam kehidupan, tetapi hanya sedikit yang namanya diharumkan. Sebab sejarah hanya mencatat mereka yang dekat dengan kekuasaan.” Pesan Sang Guru.

*****

Ini adalah cerita yang lebih dari 365 hari belum juga selesai kutamatkan. Kutampilkan di blog ini agar aku sendiri ingat bahwa ada pekerjaan yang belum selesai. Juga menunjukkan bahwa kadang proses penulisan cerita membutuhkan waktu pengendapan yang lama. Kadang terbengkalai karena tersalip urusan lain, atau karena mood sedang tak berdamai untuk melanjutkannya. Jadilah ini cerita yang “tanggung”. Cerita yang terbengkalai. 🙂

 

  • 24/08/2012