Yang Ketu7uh Ancam Jokowi

twit yang ketujuh

Apa yang aku cuitkan di atas adalah kesimpulanku tentang film Yang Ketu7uh. Film yang dikerjakan oleh 19 videografer arahan sutradara Dandhy Laksono (WatchDoc) ini membabar pergulatan hidup empat tokoh yang tak diperhitungkan dalam kehidupan normal di negeri ini. Mereka bukan orang film, bukan aktor atau aktris, melainkan rakyat Indonesia yang hanya dibutuhkan ketika PEMILU saja. 

Ada yang menduga Yang Ketu7uh merupakan film tentang Jokowi. Setelah menontonnya, kunilai WatchDoc tidak menggarap film dokumenter ini sebagai film tentang keberhasilan Jokowi dalam memenangkan Pemilihan Presiden. Jokowi menjadi Presiden RI ketujuh adalah fakta, Prabowo gagal dalam Pilpres 2014 itu pun fakta, namun banyak fakta lain yang diangkat WatchDoc yang tentu lebih penting dan lebih substansial ketimbang urusan kalah-menang.

Film ini diawali dengan suara yang -kukira- menipu hampir semua penonton Gala Premier pada 20 September 2014 di XXI Epicentrum Kuningan. Aku pun menduga suara yang muncul pada awal film adalah suara gulungan rol film pada zaman dahulu. Rupanya itu adalah suara sendok dalam sebuah mangkok ketika Nita mengocok telur untuk didadar sebagai lauk makan keluarganya.

Nita, 60 tahun, harus menghidupi lima orang anaknya, setelah sang suami meninggal dunia pada tahun 2003. Karena keterbatasan ketrampilan dan pendidikan, ia hanya bisa bekerja sebagai buruh cuci dan pekerja rumah tangga di Tangerang, Banten. Sosok Nita mewakili ribuan atau mungkin jutaan perempuan Indonesia yang hidup dalam ketidakberuntungan. Meskipun kemiskinan sudah menjadi identitasnya, ia tak pernah berhenti berharap kepada pemimpin Indonesia. Harapan itu ia gantungkan kepada calon Presiden Republik Indonesia pilihannya, Prabowo Subianto. Baginya Prabowo adalah sosok pemimpin yang sanggup mengubah kelanjutan hidupnya.

yangketujuh 1

Yang paling menyerap perhatianku dalam film dokumenter yang akan ditayangkan serentak di bioskop pada 25 September ini, adalah Amin Jalalen. Ia seorang petani penggarap tanah milik negara di Indramayu, Jawa Barat. Amin menggarap lahan milik negara dengan membayar sewa tanah. Suatu aturan yang terus ia pertanyakan, karena menurutnya sistem sewa tanah tak sesuai dengan Undang-undang Dasar yang mengamanatkan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat.

yangketujuh 2

Obrolan Amin bersama teman-teman petani usai pengumuman KPU tentang pemenang Pemilihan Presiden, kupikir patut direnungkan terutama oleh Presiden RI ketujuh dan oleh para politikus yang terbiasa memanfaatkan kemiskinan rakyat yang diwakilkannya di parlemen. Mereka berbincang tentang Prabowo dan Jokowi, dua calon presiden yang paling banyak menarik keterlibatan rakyat dalam PEMILU 2014.

Amin adalah petani yang kritis. Usai menonton, kusempatkan ngobrol dengannya. Ia menjelaskan bahwa obrolan di sawung mengalir begitu saja. Tak ada skenario dan arahan dari videografer yang merekam mereka. Bahkan dengan gaya bicaranya yang blak-blakan, menyikapi berita tentang RUU PILKADA ia menyatakan tak rela jika PILKADA diwakilkan oleh anggota DPRD.

Memilih adalah hak kita. Ngapain harus diwakilkan sama mereka yang biasanya nggak pernah inget sama kita. Malahan bisa jadi suara kita dijual-belikan buat kepentingan partainya. Pokoknya PILKADA harus dipilih langsung sama rakyat!” ceplosnya sambil melepaskan sandal jepit dan melipat satu kakinya ke atas bangku tunggu XXI Epicentrum.

Dua tokoh lainnya adalah Suparno, pekerja serabutan sebagai kuli bangunan dan Sutara, tukang ojek di bilangan Menteng. Mereka tinggal di rumah yang jauh dari layak di Menteng tetapi pada zona kumuh yang lazim di sebut Kampung Belakang. “Sebutan Kampung Belakang emang cocok sama nasib kita yang sering “dibelakangin” sama pemerintah.” celoteh Suparno yang diiyakan oleh Sutara. Suparno dan Sutara tinggal di rumah berukuran 6,65 meter persegi. Cukup tak cukup, dengan rumah sesempit itu, Sutara harus berbagi ruang dengan 5 orang anak dan istrinya. Karena keterbatasan lahan, tak ada kamar mandi atau WC di rumah mereka. Bukan cuma mereka, tetapi semua warga di sana terpaksa mandi di gang sempit depan rumah karena hanya tersedia satu bangunan MCK umum yang itupun terancam digusur.

Saya kagak pernah tau kalo rekaman yang dibikin kameramen yang dateng ke Tanah Tinggi bakal dibikin pelem kayak begini. Kagak pernah ngimpi maen pelem.” Sutara cekikikan sendiri usai menonton film yang “dibintanginya”.

Saye sih cuman punya satu harapan buat Jokowi. Semoga die inget same janjinye. Dulu, waktu masih nyalon gubernur, die pernah dateng ke musala kampung kite. Saye salaman langsung same die, sekalian ngasih proposal. Eh, sampe die nyalonin jadi presiden, belum pernah tuh ada petugas yang dateng ngebantuin bangunan musala. Semoga aje kalo die nonton ini pelem, die inget same saye!” harapan Suparno yang mengaku sebagai “orang Prabowo” saat Pilpres kemarin.

Menurutku WatchDoc berhasil menjahit film dokumenter ini sebagai tontonan yang mendidik kedewasaan politik rakyat Indonesia. Potongan-potongan video sejak Pemilu Legislatif hingga Pemilu Presiden, bukan sekadar melengkapi pergulatan hidup keempat tokoh film YANG KETU7UH ini. Lebih dari itu, spesialis film dokumenter ini berhasil memetakan kontrasnya kehidupan rakyat dengan para politikus. Film ini menegaskan bahwa pada kenyataannya, hati nurani rakyat tak pernah sejalan dengan batok kepala politikus. Entah apakah Jokowi dan JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih mampu memimpin dengan hati, atau sama saja seperti para pemangsa kekuasaan yang berlagak mewakili rakyat yang tak pernah bersemayam di hati mereka. Yang Ketu7uh bukan film yang membesar-besarkan Jokowi, melainkan sebuah ancaman jika ia tak sanggup memenuhi janji.

 

  • 24/09/2014