Ujian Nasional Rusak Semboyan Pendidikan

 

Semboyan pendidikan kita itu terdengar luhur dan bermartabat. Semboyan yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara itu berbunyi “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”Bahkan Tut Wuri Handayani dijadikan sebagai semboyan yang menjadi bagian logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tetapi apakah kementerian maupun semua stakeholder pendidikan kita benar-benar menjiwai sikap dan perilakunya sesuai dengan semboyan tersebut? Kita bisa menjawabnya dengan berbagai kasus yang melibatkan orang-orang yang bekerja dalam lingkungan kementerian maupun lembaga pendidikan.

Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik).

Kalau Anda punya waktu luang, cobalah sekadar mencari melalui Google Search dengan kata kunci “Korupsi Kementerian Pendidikan”. Ada sekitar 673.000 link berita yang terkait dengan informasi korupsi di dalam lembaga yang paling tinggi dalam mengelola pendidikan anak bangsa. Meskipun ini tak menentukan kebenaran kasus, tetapi kita bisa menelusuri betapa kelembagaan pendidikan nasional bukan lembaga yang bersih dari korupsi. Kata kunci lainnya akan lebih parah. Misalnya “kasus guru”. Silakan cari sendiri. Mau lebih serius, bisa juga mencoba dengan Google Trends.

Melihat berbagai kasus yang melibatkan oknum kementerian, dinas pendidikan, sekolah, dan guru memunculkan dugaan, sepertinya mereka tak ingat dengan semboyan pendidikan nasional kita. Apa yang mereka lakukan tidak lagi dijiwai oleh semboyan yang pada setiap peringatan Hari Pendidikan Nasional sering berulangkali disebutkan.

Kemerosotan moral pelaksana pendidikan makin terlihat ketika Ujian Nasional dilaksanakan. Soal ini sebenarnya pernah kutulis 2 tahun yang lalu,  tentang anakku yang menangis sepulang mengikuti Ujian Nasional kelas 6 SD tersebab diarahkan oleh gurunya untuk mencontek. Kupikir kejadian itu hanya akan menimpa anak pertamaku. Rupanya kesedihan dialami juga oleh anak keduaku, yang dalam 3 hari kemarin (19-21 Mei 2014) mengikuti Ujian Nasional di SD-nya. Ia mengalami konflik batin yang sama seperti yang dialami kakaknya.

Guru yang seharusnya mengarahkan dan meneladankan sikap jujur malah sebaliknya, mengajarkan anak-anak untuk mempraktikan ketidakjujuran. Kronologinya, anak-anak diminta hadir di sekolah sekitar pukul 6 pagi, jauh sebelum para pengawas datang. Mereka dikumpulkan dalam kelas untuk diberi pengarahan tentang cara menjawab soal UN. Guru menyebutkan kunci jawaban, anak-anak harus mencatat pada selembar kertas kecil yang bisa disembunyikan. Bukan cuma itu. Guru juga mengarahkan agar anak-anak kelas 6 SD memusnahkan barang bukti berupa contekan tersebut. Tidakkah hati kita teriris mengetahui praktik kriminal yang diajarkan oleh guru?

Guru yang seharusnya memberikan kepercayaan diri kepada anak-anak untuk menghadapi UN dengan tenang dan jujur, malah sebaliknya. Bagaikan gembong pencuri ia mengajarkan anak-anak didiknya sebagai pembohong-pembohong cilik. Tak terpikirkan oleh mereka betapa arahan tersebut merusak moral anak-anak yang boleh jadi akan memengaruhi perkembangan mentalnya di masa depan. Guru yang seharusnya bersikap tegas dalam menjunjung tinggi kejujuran malah mengajarkan sikap yang sangat tak bermoral. Guru seperti itukah yang akan kita pertahankan untuk mendidik anak-anak kita lainnya?

Dua kali aku mengalami kesedihan yang sama, yang dialami kedua anakku. Tak cukupkah alasan itu membakar kemarahanku? Apakah aku harus tetap diam sebagaimana orang tua murid yang takut anaknya diancam pihak sekolah? Takut proses kelulusan anaknya dipersulit? Karena itulah, semalam aku meluapkan kemarahan melalui akun pribadi Twitterku. Sengaja aku mention Mohammad Nuh sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sebab aku pernah menyampaikan kepadanya pada 27 Agustus 2010 tentang praktik mafia pendidikan, namun hingga kini berbagai praktik tak mendidik itu masih dilakukan para pendidik.

 

Aku berharap Bapak Menteri yang terhormat mau bekerja lebih serius untuk menindak guru-guru yang mengajarkan sikap seorang kriminal kepada anak-anak kita. Sepantasnya Bapak Menteri mencari sendiri bukti tentang pelaksanaan Ujian Nasional yang merusak semboyan pendidikan kita. Selamat bekerja, Pak! Kembalikan kebanggakaan kita terhadap semboyan pendidikan nasional yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara.

gambar: contekan yang disimpan anakku sebagai barang bukti yang seharusnya dimusnahkan sebagaimana pesan gurunya

  • 22/05/2014