Tetap Blogger

Para blogger yang dulu senang berkumpul di acara Hari Blogger pada ke mana ya?

Pertanyaan itu mungkin sering terlintas di kepala kita. Apakah lintasan pikiran benar-benar ada di kepala kita? Apa mungkin di hati? Saat bilang, “Gue kepikiran, nih” apakah itu adanya di hati atau di kepala?

Nah, itu salah satu contoh tulisan blog yang terdistraksi. Mau bahas apa jadinya apa. Pernah kan menemukan tulisan yang segaya itu saat kamu masih senang blogwalking?

Blogger lawas tentunya udah pada sibuk dengan pekerjaannya sehari-hari. Ada yang full ngajar, meneliti, mroyek (terlibat dalam proyek tertentu, gawe sebagai pegawai dengan berbagai updatenya di Story maupun Twitter, asyik dengan usaha yang dirintis sejak dulu, bahkan ada juga yang sibuk makelaran. Banyak banget latar belakang kaum blogger.

“Emang mereka masih blogger?” Sebuah pertanyaan kuterima.

Menurutku, mau apapun kesibukan mereka sekarang aku tetap mengenal mereka sebagai blogger. Si Kadrun, misalnya. Meskipun dia udah nggak update blog karena layanan blog gratisannya pun udah tutup, jadi blognya pindah ke status medsos menjelek-jelekkan Jokowi, dia tetap kukenal sebagai blogger. Begitupun dengan Cebong. Meskipun dia udah lupa bayar fee blogger yang diajak ngebazzer brand tertentu, dan sekarang sibuk mencela Anies di medsos, dia tetap blogger karena aku mengenalnya sebagai blogger, bukan sebagai buzzer.

Blogger ya tetap blogger. Urusan nggak punya blog itu bukan ukuran lagi. Sekarang zamane nggak cuma ngeblog sebagaimana dulu. Orang bisa tetap berbagi informasi dan opini dengan platform apa saja.

“Aku malu, Te. Nggak pernah ngeblog lagi tapi ngaku blogger” Kata temanku yang sama sekali meninggalkan dunia medsos karena harus jualan kacamata untuk kebutuhan keluarganya.

Nah, ini. Malu sama siapa? Memang ada Dewan Pertimbangan Blogger yang memantau berapa banyak postingan, berapa PR, PA/DA, PD, QC, dan semacamnya?

“Malu sama diri sendiri, Te”

Halah, lu kira blogging itu iman atau agama, yang bisa aja membuat lu malu karena nggak rajin beribadah? Blog itu cuma momen yang pernah kita alami dengan segala kisahnya. Bukan agama, bukan partai, bukan pekerjaan yang menuntut lu berkomitmen.

Blog bagiku ruang katarsis. Bagi yang lain mungkin ruang dialisis, ruang dokumentasi, ruang ekspresi, bahkan ada juga yang blognya menjadi sumber cuan. Begitulah. Beda-beda tapi tetap blogger. Sebagaimana butir-butir Pancasila… pret!

Jadi, selamat merayakan Harblognas. Lakukan apa yang bermanfaat bagimu.

Author: MT

3 thoughts on “Tetap Blogger

  1. Sebagai orang yang puritis, wopoooo, aku rasa mesti tetep sesuai konteknya. Mulai dari definisi dulu aja, Blogger adalah orang yang memiliki dan menulis blog. Klo sepakat definisinya demikian maka seorang blogger punya syarat untuk dibilang sebagai blogger.

    Syarat pertama tentu saja punya blog, nah medianya bisa macam-macam, mulai yang berbayar sampai yang gratisan. Buatku, media-nya harus punya cukup ruang untuk menuliskan isi kepala seseorang, tidak dibatasi atau dikungkung batasan jumlah kata. Contohnya twitter tidak memadai sebagai media tulisan, ruangnya tidak cukup. Kecuali dalam sebuah utas maka bisa dikatakan sebagai tulian yang utuh. Microblog buatku no.

    Syarat kedua yaitu menulis. Sebagai aliran puritis, aku menuntut bahwa tulisan seorang blogger tidak didasari pesanan atau endorse dari sebuah brand, seseorang atau kelompok apapun sehingga tulisannya tidak lagi menjadi sebuah opini. Intinya gak boleh ada advertising baik tersirat maupun terusat dalam tulisannya. Dalam tulisan ya, kalau adsense di blog-nya sih sah-sah saja. Soal menulis ini perlu ada batasan waktu tertentu juga, menuruku idealnya adalah setidaknya sebulan sekali mengeluarkan tulisan masih bisa dibilang blogger. Jika sudah lebih dari 6 bulan tidak ada tulisan lagi, boleh lah kita katakan mantan blogger saja ketimbang seorang blogger.

    Salam aliran blogger puritis. Wkkkkk

    1. mantep juga nih blogger puritan. iyaya apa yg kutuliskan jadi semacam blogger liberal kali ya? hehehe

Leave a Reply to PayCancel reply