Suku Using di Banyuwangi

Suku Using dikenal sebagai penduduk asli Banyuwangi. Ada juga yang menyebut mereka “Wong Blambangan” terkait sejarah mereka dengan Kerajaan Blambangan, yang juga merupakan pelarian dari Kerajaan Majapahit. Banyak juga orang yang melekatkan Suku Using (ada juga yang menulisnya Suku Osing) dengan ilmu ghaib. Itu kutemukan saat nge-Twit, “berangkat ke Banyuwangi”, banyak teman-teman yang berkelakar bahwa aku sedang memperdalam ilmu hitam. Santet.

Bersama teman-teman jurnalis Jawa Timur, aku mengunjungi salah satu tempat wisata Suku Using, di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi (10/3/13). Memasuki kompleks wisata Suku Using, mataku tertuju pada pos pemantau yang terbuat dari bambu. Tinggi sekali. Ada 3 lelaki Suku Using sedang memerhatikan para tamu. Namun tak lama aku menatap mereka, tersebab irama ritmis yang membuatku segera mencari sumber suaranya.

Rupanya suara ritmis tersebut dilakukan oleh sekelompok nenek-nenek berpakaian kebaya hitam. Mereka memukulkan alu ke lumpang yang ada di bawah mereka. Ini merupakan permainan musik tradisional yang disebut Gedhogan. Raut wajahnya menampakkan bahwa mereka terbiasa menyambut para pengunjung dengan penampilannya itu. Aku segera menghidupkan kamera, merekam mereka. Sementara itu, asap dari tungku penyangrai kopi mencuri perhatianku pula. Ah, kopi!

Tersadar aku akan perbincangan tentang kopi osing, salah satu kopi terbaik di dunia. Boleh jadi Kopi Osing menjadi kopi terbaik karena perkebunannya menghadap ke Timur, sehingga mendapatkan sinar matahari yang cukup banyak, dan menghadap ke laut yang dipercaya memengaruhi kadar garamnya. Aku pun segera beranjak menuju tempat di mana teman-teman sedang asyik menyeruput Kopi Osing. “Sekali Seduh, Kita Bersaudara!” begitulah tagline Kopi Osing. 

Sementara teman-teman lainnya berpesta durian khas Suku Using/Osing, aku menuju sebuah teras sanggar. Ada sekelompok pemusik tradisional Using sedang memainkan kesenian khas mereka. Seorang perempuan tua menyanyi dengan bahasa mereka. Sebuah nyanyian yang tak kumengerti, namun tetap enak dinikmati. Ditambah dengan dua penari cantik yang beraksi saat makin banyak pengunjung yang terpikat.

Aku pun berhenti merekam ketika seorang penari mengalungkan selendangnya ke leherku. Dan aku pun menari.

  • 18/03/2013