Sukmawati Tidak Menista Nabi

Banyak orang marah usai menonton potongan video orasi Sukmawati yang dianggap membandingkan Nabi Mulia Muhammad dengan Ir. Sukarno. Media sosial langsung ramai dengan sentimen negatif terhadap anak Sukarno itu. Ada juga yang melaporkannya ke polisi.

Sejak mendengar keramaian tersebut di media sosial, aku juga sempat kesal dan menganggap nalar Sukmawati kurang baik jika melakukan pembandingan tersebut. Tapi aku mikir lagi, “lho kan gue belum nonton video full version-nya. Kayaknya nggak cukup deh kalau nonton potongannya saja.”

Sebenarnya malas pake banget menonton Sukmawati bicara. Tapi ya bagaimanapun juga harus aku tonton dengan baik. Di zaman now, bro, meskipun lu nggak suka sama seseorang, lu mesti belajar sabar menyimak apa yang dia katakan. Jangan mengandalkan potongan yang kerap bikin bangsa ini gampang saling gampar.

https://youtu.be/KQcXf2kdXG4

Kesanku saat terpaksa nonton video Sukmawati:

  • Ia terlihat terlalu membenci teman sekaligus rival politik bapaknya, yaitu Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Sampai ia tanyakan waktu ngomong di Bancey, “Waktu Sukarno dipenjara di Bancey, itu Kartosuwiryo di mana?” Lha, itu kan tahun 1929 dan dia digrebeg tentara Belanda karena orasi politiknya sebagai aktifis PNI. Nah, Kartosuwiryo di mana? Ya jelas dia juga bergeraklah dengan konsep perjuangannya melawan penjajahan. Saat itu dia masih aktif di Syarikat Islam bersama HOS Cokroaminoto. Lagi pula Kartosuwiryo bukan orang PNI, ya nggak ada di lokasi dong saat penggrebekan. Tahun 1927 Kartosuwiryo pernah dipecat dari sekolah kedokteran NIAS di Surabaya lantaran ketahuan punya buku sosialisme dan komunisme dari pamannya Marko Kartodikromo. Lha, saat itu Sukarno di mana? Ya sibuk juga mendirikan PNI. Jadi dalam hal ini nenek Sukma terlalu lepas kendali emosinya, jadi pertanyaannya soal di mana Kartosuwiryo ngawur belaka. Istilah susahnya, penyesatan sejarah hahaha…
  • Sukma ungkit tragedi granat di Cikini, sekolahan kakaknya, Guntur dan Mega. Ia bilang pelaku pembunuhan itu adalah orang Islam berpikiran sempit. Karena masih menyinggung kebenciannya terhadap DI/TII dan Kartosuwiryo, seolah ceritanya mengarah ke situ padahal otak pelaku kasus tersebut nggak ada hubungannya dengan tentara Islam Indonesia. Malah yang dituduh aktor intelektual dari kasus tersebut adalah Zulkifli Lubis, kelak terlibat dalam PRRI. Di sinilah Sukmawati memaparkan kengawurannya.
  • Nah, selanjutnya Sukmawati mencontohkan bagaimana kalangan “Islam Pikiran Sempit” memengaruhi orang lain (merekrut). Menurut Sukmawati, biasanya mereka menanyakan perbandingan antara Pancasila dengan Alquran dan Sunnah yang menurutnya nggak pas jika dibandingkan.
  • Dari situlah sang nenek terbawa emosi sampai mempertanyakan kepada peserta siapa yang berjasa dalam memproklamirkan kemerdekaan di awal abad ke-20, apakah Nabi yang Mulia Muhammad atau Ir. Sukarno? (Sukma tetap menyebut Nabi dengan panggilan yang mulia). Memang kesannya ia salah konteks. Ya ngawurlah kalau Nabi Mulia Muhammad dipertanyakan perannya dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Tapi dalam konteks tersebut aku pikir Sukmawati masih dalam upaya mencontohkan proses rekrutmen kaum ekstrimis yang dia bahas sebelumnya. Bisa dibilang ia sedang menyimulasikan proses perekrutan kaum yang secara resmi disebut radikal.

“Tapi dari gestur dan tampangnya waktu membandingkan Nabi Muhammad dengan Sukarno kelihatan nggak suka gitu, koq!” Protes temanku yang cuma nonton potongan video-nya saja.

Di akhir sesi Sukmawati bicara sebenarnya ada penutup yang menarik yang membuatnya langsung “diam”. Yaitu ketika seorang peserta menjawab pertanyaannya bahwa, yang mulia adalah Suharto.

“Jadi apakah Sukmawati menista Nabi Muhammad SAW?” Desak temanku.

Menurutku sih nggak sebab aku menangkap konteksnya sebagai simulasi atau mencontohkan bagaimana kaum anti NKRI memengaruhi target rekrutmennya. Memang begitu sih yang biasanya dilakukan oleh perekrut pemula di kalangan ekstremis.

Meskipun begitu, aku tetap menemukan kengawuran Sukmawati dalam beberapa hal yang justru ia juga melakukan kekeliruan konteks, seperti yang sudah aku paparkan di atas.

Lesson learning-nya sih, terlalu membenci biasanya membuat pikiran kita pendek, nalar kita rapuh, sehingga kerap keliru dalam menyatakan maupun mempertanyakan sesuatu.

Terlalu benci juga bisa menumbuhkan stigma. Misalnya menganggap celana cingkrang, gamis, jenggot, dan niqab sebagai ciri kaum radikal. Coba deh, bijaksana dalam bersikap. Kalau kata Pram, “adil sejak dalam pikiran!”

Aku juga bahas soal ekstremisme di media sosial. Diundang di podcast Damar: swara mayantara.
  • 18/11/2019