Sexy killERS DAN EFEK AUTO-GOLPUT

Tidak sedikit orang yang usai menonton film Sexy Killers menyatakan dirinya akan golput pada perhelatan pemilu 2019. Ya, jika hanya menonton film ini dan mengaitkannya dengan Pemilu, tentu bisa dimaklumi tetapi aku melihat film ini dibuat bukan untuk kampanye Golput. Ada yang lebih penting dipahami dari soal itu.

Meskipun Sexy Killers dirilis jelang pemilihan umum yang akan diselenggarakan hari ini (17 April 2019), namun film ini merupakan ujung dari film dokumenter seri Indonesia Biru yang dibuat Watchdoc. Setidaknya masih ada 32 film dokumenter lainnya yang merupakan satu kesatuan dalam paket Ekspedisi Indonesia Biru. Jadi menganggap film ini sebagai kampanye golput, menurutku sebuah kesimpulan yang terburu-buru.

skrinsut dari film Sexy Killers (Watchdoc)

Rangkaian film dokumenter Ekspedisi Indonesia Biru membuka pikiran kita bahwa rakyat Indonesia yang beragam jangan dicerabut dari akar budayanya. Setiap masyarakat punya cara sendiri untuk bertahan hidup. Tak bijaksana jika kita memaksakan masyarakat yang biasa makan sagu diganti dengan nasi. Soal ini terbabar dalam film The Mahuzes. Ketika menonton film ini, terlintas kontradiksi dalam lesatan pikiranku. Merauke ingin dijadikan wilayah lumbung pangan dan energi, sementara di sudut lain, sawah-sawah petani terancam kekeringan akibat eksploitasi tambang, seperti yang dibabar dalam film Pergolakan di Kendeng Utara (Ekspedisi Indonesia Biru #7), Sedulur Sikep (Ekspedisi Indonesia Biru #8), dan Tanah Air dan Semen (Ekspedisi Indonesia Biru #9).

Belum lagi soal usaha perkebunan sawit rakyat kecil yang berhadapan dengan perusahaan besar yang didukung dengan izin dari pemerintah dan teknologi yang tak mampu dikejar oleh usaha kelas rumahan. Soal ini kusaksikan pada film Watchdoc lainnya berjudul Asimetris (Rilis di Youtube 28 April 2018).


Bagaimana mungkin petani bisa mencapai 8 ton/hektare kalau nggak punya modal untuk merawat lahan sawitnya. Mana ada bank yang mau jor-joran memodali petani sawit. Ini adalah fakta yang menyedihkan jika dibandingkan dengan perusahaan sawit yang sangat leluasa mengelola lahan karena dukungan dari lembaga keuangan global.

Asimetris, Film Dokumenter Biasa Saja

Menonton rangkaian film dokumenter buatan Watchdoc, khususnya serial Ekspedisi Indonesia Biru sebaiknya jangan hanya Sexy Killers. Sayang banget jika serial film dokumenter yang digarap dalam sebuah ekspedisi satu tahun penuh ini hanya ditonton ujungnya saja. Makanya wajar jika orang hanya mengaitkan film ini dengan gerakan golput.

Padahal misi dari rangkaian film ini adalah tentang Ekonomi Biru (Blue Economy) yang menjadi salah satu idealisme Dandhy Laksono –Ini tuduhan gue aja sih–. Sebuah konsep ekonomi yang mulai disadari penting oleh banyak negara dan belum terlambat untuk diterapkan di Indonesia. Ekonomi Biru tak sekadar soal perekonomian sektor maritim namun juga lingkungan secara utuh. Yang biru bukan cuma laut. Langit juga biru, sebab itu perekonomian perlu juga mempertimbangkan efek kerusakan lingkungan di laut, darat, dan udara. Lebih jauh, ekonomi biru diharapkan tak mencerabut masyarakat dari akar budayanya.

skrinsut dari film Sexy Killers (Watchdoc)

Kembali ke soal Sexy Killers dan kekhawatiran kontestan pemilu terhadap golput. Memang saat menyebarkan link film ini rata-rata orang yang menerima merespon dua hal. Pertama tentang adegan sepasang kaki di balik selimut. “Woy itu film apaan? Jangan disebar film bokep di grup waslap ini!” Lalu sambil ngikik aku menulis penjelasan ini film tentang apa. Respon kedua, ya seperti di awal tulisan ini. Aku dianggap pro Golputers. Memang wajar sih orang beranggapan demikian sebab beberapakali Dandhy memang bicara soal golput dan memberikan panduan bagaimana menjadi golput yang cerdas. Dandhy golput, ya biar aja. Itu hak dia, tetapi jika film Sexy Killers yang mengumbar data bisnis tambang di kedua kubu capres dianggap ajakan halus untuk golput…, ya, sayang banget sih. Aku abis nonton film ini malah semakin niat buat nyoblos. Kenapa? Baca aja banyak tulisanku di blog ini dalam kategori Pemilu.

Serial Ekspedisi Indonesia Biru yang dibuat dengan menempuh perjalanan berjarak 19.833 km selama 1 tahun penuh ini adalah pencerahan buat masyarakat kita, terutama pengelola pemerintahan –termasuk aktivis yang sudah jadi bagian dari lingkar kekuasaaan–, bahwa rakyat Indonesia memiliki keragaman budaya dan cara bertahan hidup yang beragam dan jangan sampai dikorbankan demi pembangunan yang kerap berpihak hanya pada kalangan pemodal.

  • 17/04/2019