Teman, Uang, dan Ketulusan

Mobil baru temanku, parkir di halaman dekat tempat aku berdomisili kini. Satu per satu penumpangnya keluar dan menyalamiku, memelukku, dan mengadu pipi. Mereka amat merindukanku. Sejak aku menjauh dari pertemanan dengan mereka.

Teman-temanku ini datang untuk kembali mengajakku berbisnis bersama mereka. Mengajak agar aku mau menggapai impian tentang kekayaan dan pemanfaatan hidup. Salah seorang dari mereka bilang, “Jika Anda masih saja tinggal bersama orang-orang miskin, kapan Anda bisa membantu mereka? Mestinya kenyataan ini menjadi inspirasi bagi Anda untuk secepatnya kaya!” Yang lain menambahkan, “Kalau Anda cepat kaya, Anda lebih mudah menolong!”

Aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku saja. Aku bukan orang yang doyan berdebat. Aku lebih cenderung membiarkan teman-temanku asyik membeberkan cerita dan impian mereka.

Baru, ketika mereka kehabisan kata, aku bertanya, “Apakah untuk menolong orang lain, harus menunggu sampai kaya dulu? Apakah keterbatasan finansial membuat kita enggan menolong?” Mereka menjawab tanyaku dengan anggukan juga.

Bagi beberapa orang temanku, uang adalah segalanya. Kesejahteraan terwakili dalam sebentuk uang. Kenyamanan adalah jika punya banyak uang tersisa. Kedermawanan baru bisa dilakukan jika punya uang berlimpah.

Tak kumungkiri, uang memang barang penting. Semua orang butuh uang. Tapi, miskin dan kaya, sebenarnya bukan hanya soal uang belaka. Ah, ini ulasan klasik dan bisa jadi klise jika aku memanjangkan kata.

Aku sampaikan pada teman-temanku yang malam ini bertamu. Aku menjalani hari-hari dengan orang-orang yang bersikap apa adanya. Aku memilih hidup bersama mereka, karena mereka menganggapku bagian dari kehidupan mereka, bukan sebagai pekerja, bukan sebagai downline atau upline, bukan sebagai konsultan, tapi sebagai keluarga. Aku telah mendapatkan apa yang belum mereka dapatkan: ketulusan.

Tapi memang sulit sekali memberikan pengertian kepada teman yang telah berubah mindset. Bagi mereka, ketulusan tak perlu diperbincangkan. Asal setiap orang tidak menjadi beban bagi yang lain, maka hubungannyapun akan menjadi tulus. “Apakah ada orang yang selama hidupnya mau dibebani orang lain? Tak mungkin ada!” Kata seorang temanku.

Ada benarnya juga kata temanku itu. Bukannya tak ada, tapi mungkin hanya sedikit orang yang selama hidupnya mau menanggung beban derita orang lain. Hanya sedikit! Dan aku menemukan orang-orang yang tulus itu, yang sedikit itu, dalam pertemananku.

Kukatakan demikian bukan berarti aku dan teman-teman yang mereka bilang orang-orang miskin ini tak butuh uang. Kami sama seperti teman-temanku yang bertamu. Sama-sama butuh uang. Cuma bedanya, aku percaya teman-temanku yang miskin punya usaha sendiri untuk mencari uang. Tidak seperti mereka yang berdasi dan berblazer hitam ini, yang kerap memaksakan orang lain untuk mengikuti dan menjalankan bisnisnya.

Aku yakinkan kepada teman-temanku yang berdasi, bahwa MLM (Multilevel Marketing) bukan satu-satunya cara untuk mencari uang. Tidak semua orang yang kita kenal harus menjadi downline MLM dulu untuk bisa mendapatkan uang. Banyak fakta mereka yang kerja konvensional, seperti menjadi karyawan, kondektur, guru, dan lain sebagainya, bisa memenuhi kebutuhan dan tanggung jawabnya terkait urusan keuangan.

Tidak, teman! Silakan kalian menjalankan bisnis MLM, dan biarkan aku dan mereka yang kalian anggap miskin tetap bekerja dengan cara kami sendiri. Lihatlah contohnya, seorang guru di sini tak merasa hidupnya melarat walau gajinya di bawah 600 ribu per bulan. Dan lihatlah kalian sendiri yang untuk sekadar bisa mengikuti training ataupun acara seremonial khas kalian saja harus memaksa downline mengejar target, agar Anda mendapatkan bonus tiket.

Ingat! Jangan cuma mencari banyak downline untuk membesarkan bisnis, jaringan, dan kariermu. Itu semua tak akan bertahan lama jika kamu tak memiliki ketulusan dalam membantu bisnis dan karier downline-mu sendiri. Dan ketulusan bukan hanya soal uang tapi termasuk bagaimana bahasa tubuh dan wajah saat kamu bicara di depan mereka. Tidak sedikit upline yang jaringannya rusak hanya karena terlihat tak sinkron antara ucapan dengan ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya. Bicara tentang ketulusan, tetapi wajahmu tetap tak menyembunyikan kelicikan.

  • 29/08/2012