Seberapa Bangsat Masa Kecilmu?

Mengingat kisah-kisah masa kecil biasanya akan mendapatkan cerita yang inspiratif. Lihat saja buku-buku tokoh terkenal. Kisah masa kecilnya kerap dibuat baik-baik saja. Meskipun ada kesedihan dan kemirisan, namun tetap akan dibuat sesuai dengan personal branding sang tokoh.

Seorang tokoh Menteri atau Konglomerat, misalnya. Nggak akan blak-blakan membuka masa kecilnya, kecuali apabila bisa dibungkus menjadi lebih inspiratif. Aku pernah membaca buku masa kecil seorang tokoh terkenal di negeri ini. Dari berbagai kisah, alhasil itu tokoh, masa kecilnya baik banget. Nggak pernah punya perbuatan tercela. Bahkan bengek pun tidak pernah dialaminya.

Riset masa kecil tokoh publik buat bukunya pun pernah kulakukan. Saat mengunjungi teman-teman masa kecilnya, sulit sekali diajak bicara tentang kenakalan dan kebangkean masa kecilnya. Kalaupun ada, “jangan ditulis, yak!”

Kisah masa kecil yang ada pada novel-novel best seller pun dibuat begitu inspiratif dan menggugah. Jikalau ada kenakalan, mesti dikemas dalam “norma” ketimuran.

Apakah mengungkap kebangsatan masa kecil dapat merusak personal branding?

Ah, aku sih masa bodoh dengan itu. Masa lalu adalah masa lalu. Kita tak bisa menilai moral seseorang di masa kini berdasarkan masa kecilnya. Boleh jadi seorang Menteri saat ini, masa kecilnya adalah seorang pencuri ulung dan tukang mabok. Tapi adakah kisah seperti itu yang dibukukan? Kayaknya nggak deh. Kuatir pencitraannya hancur dan digoreng politikus lawan. Lalu bagaimana dengan anak yang pada masa kecilnya merupakan hasil dari rahim orang PKI atau DI/TII atau PRRI atau GAM? Ya, masa lalu hanyalah masa lalu.

Jangan gampang nge-judge orang hanya karena masa lalunya terkesan buruk. Lagi pula keburukan masa lalu bukan terjadi karena keburukan itu sendiri, tetapi karena dipicu hal lain yang terpaksa menjadi begitu.

****

Foto: Feriansyah

Semalam aku kumpul dadakan dengan teman-teman masa kecil. Sudah 24 tahunan tak pernah bertemu. Ketaksengajaanlah yang menciptakan perjumpaan semalam. Tidak banyak yang kumpul memang tetapi cukuplah buat bergembira dan bersama-sama memasuki mesin waktu.

Kami memutar kembali masa lalu saat mana masih menjadi bocah-bocah ingusan –yang mungkin– menyebalkan orang lain di masanya. Semua diungkap. Semua terungkap, dan kami ceritakan bersama sambil menyesap kopi dan menghisap rokok.

Seberapa bangsat masa kecil kami? Hahaha… Entahlah, yang jelas kami saling mengonfirmasi kebadungan satu persatu. Tauran antar kampung kerap terjadi dan genk anak-anak yang dulu kami namakan OGLEX, adalah pasukan kampung berani mati berantem. Seringkali kami menyerang “musuh” di kampung sebelah. Kami di Teratai Putih. Biasa tauran lawan anak Nusa Indah, Bunga Rampai, dan yang suka bawa golok: anak Kampung Jembatan.

Anak Kamjet –begitu singkatan populer dari dulu– biasanya kami temukan saat ngobak, mandi di Kali Agus. Mereka biasa bawa golok. Kami tetap berani meskipun cuma modal balok, batu, dan katapel. Kenapa kami nggak pakai senjata tajam seperti yang biasa dipakai ananak preman yang doyan tauran? Hehehe… semalam semua ngakak.

Semua mengonfirmasikan kalau kami badung di luar tapi nggak pernah bikin ulah di kampung sendiri. Bagaimana bisa kami bawa senjata tajam dari rumah, lha bakal ditoyor sama emaklah, sebab ia tahu kami bukan anak laki yang suka main masak-masakan dan juga bukan anak yang punya inisiatif nebang pohon akasia yang sudah mau tumbang. Jadi kalau mau tauran ya kami pakai senjata sedapatnya di jalan, kecuali katapel/jepretan.

Dari soal tauran, perbincangan random mengulas kenakalan lainnya. Dari soal nyewa video (VCR) bokep yang disebut “wayang kulit”, jualan pil BK dan lintingan Gele, mesumnya kakak senior, dan mencuri di Pasar Baru. Semua saling berbalas cerita, saling mengonfirmasi, sekadar untuk menghibur dan mengisi kerinduan ngumpul seperti dulu.

Tidak adakah perbuatan baik masa kecilku dan teman-teman? Ya, ada dong. Cuma itu sih udah wajarlah ya. Kalaupun diceritakan, gimana ya. Nanti terkesan dibuat-buat.

Bagaimanapun kami ini anak-anak biasa yang meskipun setiap malam nongkrong, nge-drink, begadang, tapi urusan sekolah tetap beres. Sebadung-badungnya kami, tetep nurut kalo emak nyuruh beli minyak tanah di warung atau nyuruh beli telor, mie instan, bahkan bumbu dapur.

Oiya, bicara soal dapur, semalam pun terungkap makanan terbaik yang sering kami sajikan sendiri. Sebuah menu sederhana dan lezatnya tiada banding. Apa itu? Nasi putih ditaburi mecin lalu disirami air panas dari termos emak di dapur. Hadeuhhh lezatnya!

“Itu makanan kita dulu, yak. Melarat banget idup kita dulu.” Ungkap temanku di mana aku pernah numpang tinggal di rumahnya.

Obrolan pun mengulas teman-teman kami dengan keunggulannya masing-masing. Ada yang jadi anggota POLRI, Master Analis Kimia, Ahli Informatika, Manajer, Penulis, Editor Bokep, Makelar proyek, Guru, Kepala Sekolah, dan segalanya. Masing-masing kini menjalani karier dan pekerjaannya namun semua beranjak dari masa kecil yang sama: satu Genk bangsat kecil yang tak pernah tahu masa depannya.

Di tengah kisah lama tentang kenakalan, terungkap juga pengalaman baik saat kecil dulu.

“Inget nggak dulu pas kita lagi mabok di lapangan, eh pak Ustadz manggil, nyuruh kita ikut lomba MTQ?” Tanyaku. Yang lain ngakak.

Ya, saat itu aku yang tertinggal sendirian di belakang Pos Ronda. Yang lain kabur sebelum pak Ustadz sampai. Beliau memaksaku mewakili RT, ikut lomba Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Aku tak bisa menolak.

Akhirnya beliau meminjamkan sarung dan peci. Jadilah kami berdua ke Masjid Nurul Iman tempat lomba MTQ diadakan. Aku pasrah berangkat meskipun mulut masih beraroma Mansion House. Tiba saatnya namaku dipanggil. Degdegan, aku duduk bersila di depan para juri.

Salah seorang juri memintaku membacakan ayat tentang Bani Israil. Aku bingung. Jariku membuka lembar demi lembar kitab Al-quran tanpa tahu apa yang kucari. Waktu makin bergulir. Juri lainnya memintaku mulai membaca. Karena aku panik plus malu plus grogi, plus terbayang teman-teman yang kabur, akhir kubaca surat yang kuhafal saja: At Takatsur.

Selesai membaca aku langsung melesat pulang. Malu dan entah bagaimana menyebutkan perasaan pada saat itu.

Begitukah kisah masa kecil yang terungkap kembali kala kami berkumpul semalam. Ada juga cerita sedih tentang teman-teman yang sudah meninggal dunia. Kami tetap berdoa buat mereka.

Masa lalu adalah masa lalu. Kita tak bisa mengulang dan memperbaiki apa yang sudah terjadi. Bangsat ya bangsat saja. Baik ya baik saja. Masa lalu mesti kita lihat apa adanya, tanpa perspektif kekinian. Keburukan tak perlu disembunyikan di balik kebaikan yang palsu.

Itulah masa lalu kami. Ya, mungkin tak semua yang dibahas semalam tertuliskan di blog ini. Tetapi paling tidak, dengan menuliskannya berarti aku mengikat ingatan kami bersama.

Sebagai orang yang sudah pada tua, semalam semua yang kumpul punya harapan sama, “semoga anak-anak kita nggak (badung) kayak kita dulu, yak!” Harapan tersebut diaminkan lalu semua tertawa.

  • 07/07/2019