Salah Pilih Ban, Nyawa Terancam

Si Tunggir, nama resmi motorku di kalangan teman-teman. Dinamakan Si Tunggir karena pernah 3 kali bagian belakang motor ini hilang. Entah kenapa itu amat misterius. Ada yang menduga, pasti ditabrak dari belakang saat diparkir. Ada juga yang menduga pernah ditabrakkan dalam posisi mundur. Wah, beberapa temanku punya dugaan yang beragam. Bahkan saking mentoknya, temanku yang biasa menyeduhkan kopi, PS, berkelakar, “Jangan-jangan tunggir motor lu itu dimakan Jin!” Hahaha… terserahlah bagaimana fakta yang tak pernah terungkap, yang jelas jadilah motorku dijuluki Si Tunggir tersebab itu.

Aku telah melewati perjalanan bersama Si Tunggir sejak 2006. Perjalanan yang pertamakali terjauh adalah dari Cakung, Jakarta Timur sampai ke Cinangka, Anyer, Banten. Perjalanan yang melelahkan namun juga menegangkan karena sempat sekali ban depan Si Tunggir pecah di Kalideres. Kutambal saja di bengkel motor pinggir jalan sebuah kompleks. 

Perjalanan lain yang cukup jauh bersama si Tunggir adalah saat touring ke Baduy Dalam. Motorku ini masih dibilang perkasa karena sanggup melintasi perjalanan tanpa masalah hingga ke Ciboleger dan kembali lagi ke rumah. 

Hingga kini Si Tunggir tetap menemami perjalananku di sekitaran Bogor saja. Aku tak lagi berani membawanya ke luar Bogor. Ada trauma irama yang membuatku takut melakukan perjalanan jauh bersama Si Tunggir. 

Sore itu aku pulang mengantarkan Istri sehabis memberikan pengobatan gratis di sebuah desa pedalaman di Ciseeng, Parung. Karena sore makin gerimis, aku mempercepat laju Si Tunggir agar cepat sampai ke rumah. Itu kulakukan karena aku lupa membawa jas hujan. Namun malang tak dapat ditolak, tepat di lorong Jalan Baru, ban belakang Si Tunggir pecah! Si Tunggir oleng dan aku hanya berpikir jangan sampai jatuh. Karena jika kami jatuh di lorong itu, dapat dipastikan kendaraan di belakang kami, bis, angkot, dan kendaraan pribadi lainnya akan menggilas aku, istri, dan anakku yang baru berusia 2 tahun, Mikail. Dalam keguncangan dan ketegangan aku tetap berharap agar dapat menepi dan Tuhan memberkati keselamatan kepada kami. 

Sampailah Si Tunggir ke tepian lorong. Aku berhenti dan meminta agar Istri dan Anakku melanjutkan perjalanan pulang naik Angkot. Sementara aku harus mencari bengkel motor terdekat untuk memperbaiki roda belakang si Tunggir. Beruntung tak berapa jauh dari “Lorong Maut” itu ada bengkel motor. Kuserahkan Si Tunggir kepada ahlinya. 

“Ini motor kenapa belakangnya pecah, boss?” Tanya teknisi bengkel. Ah, nggak di mana-mana, selalu saja bagian belakang Si Tunggir menjadi perhatian orang. Begitu pun dengan teknisi ini, bukannya menanyakan ban, malah tunggir yang hilang. 

“Hahaha, gak papa, Bang. Yang penting ban belakang, nih, Bang. Pecah di lorong tadi. Tolong ditambal!” Pintaku. 

Sang Teknisi langsung bekerja. Ia mulai membongkar ban belakang Si Tunggir.

“Alaah, ini tak bisa ditambal boss. Musti diganti. Parah pula ini boss, sobek!” Ia memberitahu tingkat keparahan ban belakang. Memang kulihat ban dalam itu terberai.

“Ya sudah, ganti aja. Gak papa!” 

“Mau pake ban dalam yang mana boss. Yang murah atau yang mahal?”

“Yang murah tapi yang paling bagus!” Candaku.

“Alaaah, Si Boss ini. Mana ada barang murah bagus! Udah pake ini ajalah. Ini merk bagus, barang bagus, harga pun bagus pula!” Sang Teknisi menyodorkan kemasan ban dalam bermerk Mizzle. 

“Beneran itu ban bagus?” Sebenarnya aku tak paham tentang mana ban yang bagus atau tidak. 

“Kalo yang ini saya berani jamin bos. Soalnya banyak ban murah yang umurnya gak sampai 3 bulan. Pasti pecah. Bahaya boss. Masa cuma gara-gara uang puluhan ribu, sampai korban nyawa, sih boss.” Pintar juga si Teknisi ini menyadarkanku.

“Emang udah banyak yang pakai merk itu?” Iseng aja aku tanya, sambil menyeruput kopi buatan warung sebelah bengkel.

“Yang tahu barang sih pasti pake ini, boss. Ini ban elastisitasnya bagus. Daya rentannya sangat bagus. Apalagi daya tahannya, bagus buat menahan tekanan udara di dalam ban, boss. Sambungan dan Pentilnya dari bahan karet terbaik, boss. Jadi nggak gampang sobek atau putus. Ini penting, boss buat keamanan naik motor.” Sepertinya teknisi ini nggak sembarangan jual barang, deh. Pikirku.

“Emang banyak ya, ban ecek-ecek di pasaran?” Tanyaku lagi. Masih sambil ngopi.

“Wah, jangan dibilang deh, boss. Yang penting sih, kita kalo udah tau barang bagus, yaudah, pake itu aja. Jangan ganti-ganti. Kayak Mizzle ini, kerapatan pori-pori ban dalam ini bagus, boss. Jadi dapat dipompa dan kuat menahan hingga tekanan udara maksimum. Itu karena kualitas bahannya bagus, jadi kuat menahan tekanan atau benturan dari benda asing yang masuk ke dalam ban. Gitu, boss!”

“Ya udah, kelarin, dah! Saya percaya aja deh sama yang lebih ngerti!” 

“Siap, boss. Jadi pake ini ya,  Mizzle, ban impian yang menjawab semua tantangan!” Pungkasnya sambil tertawa.

“Hahaha, kayaknya lu pantesnya jadi bintang iklan aja, Cok!” Timpalku yang juga tertawa.

Gerimis makin menipis. Sang Teknisi menuntaskan pekerjaannya. Sedangkan aku tetap menikmati sisa kopi di cangkir sambil membayangkan betapa besar kasih sayang Tuhan sehingga aku masih bisa selamat dalam kecelakaan tadi. Ya, semoga saja kengerian itu tak terjadi lagi.

Author: MT

5 thoughts on “Salah Pilih Ban, Nyawa Terancam