Relawan dan Artis Idola

“Naif banget kalo niat lu aktif di sini cuma karena ada… tetottt (sebut nama artis). Kita cuma butuh volunteer yang memang mencintai anak-anak yang kita urus! Kalo lu aktif di sini karena artis itu, lu salah tempat!” Arahan seorang kakak pengurus sebuah komunitas relawan saat memotivasi juniornya.

Seorang relawan junior menundukkan kepalanya. Ia kehilangan semangat untuk berargumentasi membela diri. Ia tak mengerti kenapa sampai dirinya dituding di depan sesama relawan lainnya, dengan alasan ngefans sama artis yang juga aktif mengampanyekan gerakan sosial komunitasnya.

Ia pernah menyampaikan ke senior bahwa ia tak kenal siapa artis yang dianggap diidolakannya. Ia baru tahu ada artis tersebut ketika dituduh memiliki motivasi yang bias dari motivasi yang sepantasnya sebagai volunteer. Ia pun merasa aneh sebab sang senior menuduhnya berdasarkan form kuesioner online yang wajib diisi semua anggota komunitas. Kuesioner anonim yang merupakan upaya komunitas meningkatkan kualitas organisasi. Satu hal ini pun tambah membuatnya bingung, berdasarkan apa senior yakin bahwa yang mengisi form online yang dipermasalahkan itu adalah dirinya.

Ada dua persoalan dari kejadian di atas. Pertama adalah soal motivasi relawan. Kedua adalah soal anonimitas. Keduanya bisa saja terjadi dalam sebuah komunitas.

Soal artis. Komunitas ini sejak awal memang melibatkan seorang artis yang secara cuma-cuma, rela tak dibayar, mau mempromosikan kegiatan sosial komunitas tersebut. Perannya tentu sangat berarti dalam mempopulerkan komunitas dan melibatkan banyak fans untuk bergabung dalam kegiatan sosial komunitas. Wajar jika seorang pengagum mau menjadi relawan karena faktor kekagumannya terhadap sang artis. Bahkan amat sangat wajar jika motivasinya sekadar ingin bisa foto bareng dengan sang artis idola, atau bahkan motivasinya untuk dibangga-banggakan saat ia cerita kepada temannya yang lain bahwa ia sekomunitas dengan artis idolanya. Wajar, bro!

Yang menjadi tak wajar adalah ketika sang senior meminta agar junior meluruskan kembali motivasinya untuk aktif dalam komunitas. Sang senior menganggap niat karena ingin ketemu artis idola merupakan niat yang bias. Menurutnya niat bergabung dalam komunitas haruslah karena ikhlas dan mencintai pekerjaan sosial.

Di sinilah terlihat ketidakwajarannya. Jika memang ingin anggota komunitas memiliki niat ikhlas bukan karena artis idola, kenapa pengurus komunitas memanfaatkan peran artis untuk mempopulerkan komunitas. Apa lagi komunitas tersebut mengharapkan volunteernya adalah kaum muda yang memang sedang gokil-gokilnya mengidolakan figur tertentu. Malah terbalik, sang seniorlah yang naif sebab ia menafikan keberadaan artis yang telah membantu mempopulerkan komunitas selama ini.

“Jadi nggak papa kakak kalo dedek aktif di sini karena dedek ngefens berat sama kakak?”

“gakpape!”

Persoalan kedua tentang anonimitas. Percuma saja jika membuat form online dengan memberikan hak anonim tetapi tetap mencari-cari tahu siapa mengisi apa. Jika tujuan dibuatnya kuesioner tersebut adalah untuk mendapatkan apa kritik dan saran bagi kemajuan organisasi, maka siapa yang mengisinya tak menjadi penting. Yang lebih penting malah, seharusnya sang senior memiliki pengetahuan tentang prinsip anonimitas. Dengan menuding seorang junior di depan banyak anggota komunitas, itu sama saja dengan melanggar hak anonim yang diberikan pada saat pengisian kuesioner.

“Jadi sebenernya dedek sakit hati dibilang bias motivasinya. Kalo gitu dedek cabut ajalah dari sini. Malesin banget punya senior sok tau, sok berkuasa kek gitu. Cuih!” Si Dedek manyun.

Jadi wajar kalau anak muda malas berkomunitas jika kedua hal di atas menjadi persoalan.

“Trus anak-anak gimana nasibnya? Siapa yang ikhlas membimbing mereka?” Senior menuntut junior.

“Helloooo…. Lu cari aja orang-orang ikhlas yang lu maksud di muka bumi ini. Gudbay kakak!” Si Dedek melenting ke ujung bumi utara.

 

  • 13/12/2015