Pongah Sejak Dalam Pikiran

Para pembaca senior tetralogi pulau buru, khususnya Bumi Manusia karya Pram mungkin paling hafal dialog Jean Marais dan Minke yang intinya “bersikap adil sejak dalam pikiran”.

Quote tersebut seringkali kita temukan di status, di cuitan, dan di manapun di era media sosial. Ada yang jujur menuliskan sumbernya, ada juga yang seolah-olah itu adalah quote ciptaannya.

kutipan lengkapnya. Bumi manusia cetakan pertama, hasta mitra, 1980 (bukunya punya CR)
kutipan lengkapnya. Bumi manusia cetakan pertama, hasta mitra, 1980 (Buku punya CR)

Ketika Roman ini difilmkan tidak sedikit dari para pembaca senior –yang merasa lebih banyak tahu tentang Pram dan karyanya– bersikap pongah sejak dalam pikiran. Bahkan sejak filmnya masih digarap, banyak yang menuding bahwa Hanung tak akan berhasil mengadaptasi roman Bumi Manusia sebagai film. Belum lagi kekecewaan mereka terhadap Iqbal Ramadhan yang memerankan Minke. Seolah Iqbal tak pantas menjadi Minke karena pikiran mereka terkungkung dengan sosok Dilan bahkan Cowboy Junior.

Mana pantas Iqbal memerankan Minke!

Rata-rata begitu yang ada dalam pikiran mereka.

Sekali lagi pikiran mereka terkungkung pada sosok Minke. Padahal menurut keawaman saya, Bumi Manusia bukan sekadar pergulatan Minke dan kisah cintanya dengan Annelies Mellema namun tentang pergulatan kaum pribumi Hindia Belanda dalam konteks kehidupan era kolonial di mana kesetaraan dan keadilan sulit didapatkan. Dalam soal kesetaraan ini pun ada sosok lain yang amat kuat mengisi roman Bumi Manusia, yaitu Nyai Ontosoroh –yang diperankan oleh Sha Ine Febriyanti–, seorang perempuan pribumi yang kuat dan mandiri dalam melawan kekuasaan hukum kolonial. Apakah Ine pantas memerankan Nyai Ontosoroh? Tak ada yang protes. Atau mungkin tak ada yang ngeh sebab yang dilihat hanya Hanung sebagai filmmaker dan Iqbal pemeran Minke.

Kenapa di antara mereka yang membaca Bumi Manusia sejak zaman Orde Baru –ketika karya Pram dilarang beredar– ada yang berat hati buku ini difilmkan? Apakah mereka tak ingin generasi kekinian mengenal Pram dan karyanya? Apakah hanya mereka yang boleh tahu soal Pram? Atau mungkin mereka ingin memaksakan generasi “audio visual” membaca buku-buku tebalnya Pram? Tidakkah mereka melihat kemungkinan, dengan difilmkannya Bumi Manusia, justru akan mendekatkan generasi milenial dengan karya-karya Pram. Tidak sedikit orang yang akhirnya tergerak membaca buku setelah menonton film adaptasi dari buku tersebut.

Yang mungkin mereka juga tak tahu, jauh sebelum memerankan Minke, Iqbal Ramadhan sudah membaca Bumi Manusia saat masih sekolah. Ia membaca lalu beberapa tahun kemudian akhirnya ditawarkan memerankan Minke. Sebuah kebetulan. Namun ia membaca Bumi Manusia bukan karena ingin menjadi Minke. Nggak kepikiran kali saat dia masih sekolah. Begitupun Hanung membaca Bumi Manusia lalu membuat versi filmnya. Pemeran dan Kru film pun membaca dan ngefans banget sama Pram lalu terlibat dalam pembuatan filmnya. Nah mereka yang merasa lebih dahulu tahu tentang Pram, mereka yang tidak suka Bumi Manusia difilmkan, sudah bikin apa?

“Harus adil sudah sejak dalam pikiran, jangan ikut2an jadi hakim tentang perkara yg tidak diketahui benar tidaknya”

Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Halaman 60 Penerbit Hasta Mitra 1980

Terakhir, apakah mereka yang merasa lebih tahu soal Pram dan Bumi Manusia (termasuk film Perburuan) sudah bersikap seperti quote yang kerap mereka agungkan, yakni apakah mereka sudah bersikap adil sejak dalam pikiran?

  • 16/08/2019