Pesta Gelandangan

Sekumpulan orang mencipta keriuhan. Lingkaran nasib menyatukan mereka. Ada yang tua, muda, juga bocah-bocah. Karir mereka berbeda. Ada pengemis, pengamen, pengamin, pengasong, penjaja minuman, penjaja tubuh, tukang loak, tukang puntung, kuli jalanan, preman tikungan, preman secengan, dan lain sebagainya.

Mereka sedang berpesta. Bukan dialog. Bukan pula demontrasi, apalagi sidang istimewa. Bukan! Mereka bukan orang-orang yang suka dengan acara “begituan”. Mereka tak punya ambisi politik, tak pernah sok aspiratif, tak mau jadi pahlawan bangsa, tak sudi jadi pembela rakyat. Sebab mereka rakyat yang sesungguhnya. 

Mereka tak pernah mengemis untuk dibela!

Dulu, pernah ada sekelompok manusia yang bilangnya mau membela mereka tetapi pada kenyataannya malah ngibul. Para pembual itu hanya memanfaatkan mereka -Kaum Gelandangan- untuk kepentingan partainya sendiri. Mereka tak lagi percaya siapapun. Mereka cuma percaya bahwa Tuhan itu ada, tetapi kemunafikan lebih nyata. Tersebab bualan tokoh politik, mereka jadi lebih percaya pada hidup yang serba keras, serba menyakitkan, dan serba menyudutkan derajat kemanusiaan mereka. Ketika kampanye, mereka dibutuhkan. Kampanye selesai, mereka digusur atau bahkan dihilangkan eksistensi kebudayaannya. Seperti yang juga menimpa nasib rakyat jelata yang desanya dijual penguasa setempat kepada penambang ataupun penebang.

Saat para calon legislatif berpesta karena terpilih dalam PEMILU, saat para calon presiden dan wakil presiden, calon gubernur dan wakil gubernur berkampanye, saat mahasiswa berpesta demontrasi dan meluapkan emosi, mereka -Kaum Gelandangan itu- juga berpesta dengan caranya sendiri, di kolong jembatan, di tepi trotoar, di persimpangan jalan, dan di tempat yang tak pernah membuat betah kaum bangsawan. Semua gelandangan yang hadir adalah peserta dan sekaligus panitia bagi dirinya sendiri. Tidak ada tempat istirahat mewah selayaknya kaum borjuis di DPR/DPRD. Tidak ada yang menyediakan konsumsi. Tidak ada basa-basi!

Mereka bernyanyi, menari, dan berteriak.

Hanya di pesta seperti inilah mereka dapat bebas berekspresi meneriakkan nestapa. Mereka tak bisa menyampaikan nestapa dalam demo-demo layaknya buruh dan mahasiswa. Mereka kapok karena demo yang pernah dilakukan dulu, hanya menguntungkan para “donatur” yang menyediakan recehan usai berdemo. Mereka kapok diperalat mafia demo yang ternyata mendapatkan keuntungan lebih besar dari protes yang mereka lakukan.

Hanya pada saat berkesenian seperti inilah mereka dapat menyuarakan aspirasinya sendiri. Menyembuhkan lukanya sendiri. Inilah nyanyian mereka:

Reformasi, kami nggak ngerti!
Demokrasi, kami butuh nasi!
Demontrasi, kami tetap tersisih!

Apa yang kalian lihat dari kami
Apa yang kalian minta pada kami
Bilang saja, jangan sok peduli

Bukan kami tak percaya,
Bukan kami curiga,
Kami sudah sering dimaki
Kami sudah sering dikhianati

Reformasi, kami nggak ngerti!
Demokrasi, kami butuh nasi!
Demontrasi, kami masih begini!

Jangan bilang kami malas!
Perut kami selalu mulas
Jangan bilang kami bodoh!
Kantong kami tak pernah bisa dirogoh
Jangan bilang kami miskin!
Keringat kami paling asin

Sudah, sudahlah jangan banyak bicara!
Sudah, sudahlah jangan banyak berkhotbah!
Sudah, sudahlah apa kalian nggak lelah?!

Terus saja rebut mimpi kalian
Kami tak bisa lagi bermimpi
Terus saja kejar ambisi kalian
Tapi jangan bilang demi kami!

Kami di sini tetap begini
Reformasi, kami nggak ngerti!
Demokrasi, bukan mimpi kami!
Kami di sini tetap begini!

Itulah nyanyian mereka. Semua bernyanyi, menari, berlari-lari kesana-kemari. Tetap dalam lingkaran di bawah jembatan layang. Sepertinya mereka senang, karena kelihatan riang. Sementara seorang bocah ingusan asyik tidur. Tangannya masih menggenggam kerop yang digunakan untuk instrumen ngamen. Dia tak terganggu oleh pesta di sekitarnya. Ilernya menunjukkan ia tidur nyenyak sekali. Sementara si Mpus, kucing piaraannya asyik menjilat-jilat tangannya yang masih bau amis bekas menyuap ikan asin di warung nasi.

Sementara yang lain sibuk kampanye, sibuk berjanji, sibuk menghambur-hamburkan uang miliaran rupiah, yang sebenarnya dapat mengubah nasib mereka, rakyat jelata.

Sementara yang lain sibuk saling mencerca di beragam media, saling mengecam dan mengumbar fitnah, namun sejarah kelam yang pernah mereka torehkan selalu disembunyikan.


  • 02/06/2014