Pesanggrahan Menumbing dan Penculikan Aktivis

perjalanan kami menuju Pesanggrahan Menumbing. Tapi bukan soal ini yang kutulis di blog ~ Video MT

Aku selalu tertarik mengunjungi bangunan lama dan kuat dengan sejarah yang melekat padanya. Itulah kenapa kami menginap di sebuah hotel tua bahkan termasuk dalam kategori heritage di Bangka, yaitu Hotel Menumbing Heritage. Aku pun sempat menyambangi House of Lay, sebuah rumah tua yang pernah ditempati oleh Kapiten Lay Nam Sen, keturunan Tionghoa yang mendapatkan tugas dari Pemerintah Belanda sekira tahun 1860-an. Dan yang menjadi target perjalanan adalah Wisma Ranggam dan Pesanggrahan Menumbing. Tetapi sayang sekali, waktu kami hanya sempat mengunjungi Pesanggrahan Menumbing. Janji makan malam dengan dua orang pembesar di Bangka membuat kami harus kembali menempuh perjalanan sekira 3 jam ke Pantai Padi, Pangkalpinang.

bergaya di depan penjara pengasingan tokoh bangsa. apalagi yg kita bisa selain bergaya di foto? ~ foto: Charirulavif

Saat memasuki area Pesanggrahan Menumbing, aku berdiri di tebing terluar dekat pintu yang mengarah ke Gua Jepang. Dari situ aku memerhatikan bangunan tempat para tokoh bangsa diasingkan setelah kejadian Agresi Militer Belanda kedua. Sepertinya di area Pesanggrahan Menumbing ini, aura Bung Hatta begitu kuat. Ia sering jalan-jalan di sekitar sini dan memandangi arah pantai sambil memikirkan bagaimana langkah selanjutnya untuk merebut kembali kedaulatan pemerintah Republik Indonesia dari mainan politik Belanda.

Aku masuk ke rumah besar itu. Sepertinya sudah banyak yang berubah. Banyak lokasi yang sudah ditata ulang tidak seperti masa-masa para tokoh bangsa dipenjara di rumah ini. Satu kamar yang berisi dua tempat tidur pun seperti kehilangan napas Bung Hatta. Apalagi Sukarno yang hanya sebentar di gunung ini sebab ia lebih merasa pas dirumahkan di wisma Ranggam, di kota Muntok.

Ada ruang lain yang tak bisa kumasuki. Ada tulisan “Dilarang Membuka Pintu”. Bangunan lain di tepi tebing juga terkunci. Di dalamnya terjogrok sofa bukan dari masa lalu. Bagunan tersebut seolah tak tertangani dengan cukup baik sebagai sebuah bangunan bersejarah.

Sepertinya perlu keseriusan Pemerintah provinsi Bangka Belitung untuk menjadikan beberapa bangunan tua bersejarah, agar dikelola sebagai obyek wisata sejarah. Aku khawatir aja kalau tidak dikelola dengan baik, generasi muda bisa kehilangan sejarah para leluhurnya.

MT di depan Monumen Bung Hatta ~ foto: Chairul Avif

Patung Bung Hatta berdiri tegak di depan Pesanggrahan Menumbing. Sepertinya di sini ia banyak menuliskan kegelisahannya sebagai seorang penggerak perubahan bangsa. Ia juga orang yang gelisah dengan kedudukan dalam sebuah gerakan perjuangan. Seperti apa tulisan Bung Hatta pada monumen patung kepalanya tersebut? Lihat saja di video yang sudah kupajang di awal tulisan ini. Intinya ia berpesan kepada semua pemimpinan agar senantiasa menyiapkan kader penggantinya sendiri.

Kalau kita lihat bangunan saksi sejarah, betapa pedih hidup para aktivis kemerdekaan. Mereka menerima resiko penculikan dan pengasingan karena pemikirannya yang kritis terhadap pemerintahan penjajah. Ya, begitulah resiko menjadi aktivis yang tetap menjaga jarak dengan kekuasaan yang kejam dan bebal. Hanya aktivis yang lemah dan berkompromi dengan pemerintah yang akan hidup nyaman dalam lingkar kekuasaan.

Mataharitimoer saat berdiri di sebuah kamar di Pesanggrahan Menumbing

Tokoh bangsa yang dipenjara atau diasingkan di Wisma Ranggam maupun Pesanggrahan Menumbing ini adalah orang-orang penting pada zamannya. Sukarno sebagai presiden, Hatta sebagai wakil presiden. H. Agus Salim sebagai Menteri Luar Negeri, RS Soerjadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Udara, MR Asaat sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat/KNIP, dan AG Pringgodigdo sebagai Menteri Sekretaris Negara. Hanya Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri yang batal diasingkan di Menumbing maupun di Berastagi di mana sebelumnya Sukarno dan H. Agus Salim bersama Sjahrir dibawa ke sana.

https://www.instagram.com/p/B5Vyl4sAVQh/?utm_source=ig_web_copy_link

Resiko sebagai orang pergerakan ya seperti itu: Ditangkap, diasingkan, bahkan diculik. Eh, kalau diculik itu terjadi di zaman Belanda atau Orde Baru ya? Jadi teringat beberapa aktivis pergerakan zaman kekinian yang diculik, semacam Wiji Thukul, lalu Munir yang dibunuh bahkan di zaman Megawati, Marsinah, dan saat ini pun masih ada aktivis yang diculik dan belum ketahuan nasibnya. Bukan cuma itu, anak sekolah yang ikut demo saja ditangkap! di zaman Jokowi.

Kita ini masih dijajah Belanda atau dijajah oleh bangsa sendiri sih? Terbayang nggak sih bagaimana pedihnya tokoh-tokoh bangsa yang ditangkap dan diasingkan oleh penjajah melihat anak-anak bangsa mereka diculik dan diasingkan (entah ke mana) oleh para pengisi kemerdekaan? Sekali lagi, oleh para ((( PENGISI KEMERDEKAAN)))

  • 28/11/2019