Nyawa Kata

Dalam pergaulan hidup kita akan menemukan masalah. Kadang kita kecewa dengan perilaku teman, kadang teman tak menyukai sikap kita, dan ada juga yang memang sengaja men­éken kontrak konflik. Apakah masalah-masalah yang kita alami bisa diselesaikan dengan permohonan maaf?Pernyataan maaf itu adalah sebuah perbuatan sakral. Kuanggap sakral karena maaf ternyata bukan hanya memperbaiki hubungan antar sesama manusia, tetapi juga menentukan ridha dan rizki dari Pencipta manusia. Jika ada dua orang yang konflik namun mampu untuk saling meminta dan memberi maaf, maka hubungan mereka akan harmonis dan Allah mengampuni keduanya. Mudahkah meminta dan memberi maaf?

Kata maaf (afwan, sorry, forgive) ternyata masih memiliki misteri. Ada orang yang mudah menyatakan maaf, ada juga yang berat untuk menyatakannya. Ada yang mudah bermaaf-maafan namun tetap saja menyimpan dendam. Ada juga yang mengumbar maaf namun tak sekalipun memperbaiki kelakuan. Yeach, ternyata maaf itu perlu konsistensi, mungkin ini yang tak dipahami oleh beberapa orang.

Dalam realitas politik, kita pernah menyaksikan para tokoh politik negeri saling memaafkan. Rekonsiliasi kalau istilah mereka. Tetapi ternyata mereka tetap saja saling bersaing, menekan, dan mendiskreditkan. Di kalangan politisi seperti itu ternyata maaf merupakan bagian dari taktik untuk menjungkal lawan. Mereka menjalin maaf hanya untuk mengambil napas sejenak, untuk melanjutkan ronde berikutnya. Seperti atlit tinju, barangkali.

Dalam berorganisasi, tak masalah jika atasan meminta maaf kepada bawahan setelah memberikan kritik atas kinerja bawahan yang tak sesuai harapan. Para bawahan harus bisa menerima dan memberi maaf atasan, jangan berpikir kalau atasan itu tak pernah salah. Begitu juga kepada atasan, jangan mengira kalau bawahan itu selalu bersalah. Kata maaf adalah obat bagi hubungan organisasional.

Dalam konteks sosial di pemukiman kumuh, seorang ibu meminta maaf kepada tetangganya karena ketahuan telah menyebarkan gosip kalau tetangganya itu “begini-begitu”. Sang tetangga yang tak rela digosipkan menerima permintaan maaf dari tetangganya. Beberapa jam setelah peristiwa yang mengharukan itu selesai, sang ibu yang memang dijuluki bigos (biang gosip) oleh teman-teman sekonconya, bercerita lagi tentang tetangganya yang “begini-begitu”. Ternyata sang tetangga yang digosipkan juga punya teman ngeriung, dia curhat kepada teman-teman sebangsanya kalau si ibu “anu” itu biang gosip, setiap hari ngomongin orang, dari satu cerita ke cerita lainnya, hingga maghrib, baru selesai forum riungan itu.

Setiap kata yang keluar dari mulut kita, termasuk kata “maaf” berakhir dimana? Apakah kata-kata itu menguap begitu saja dan menjadi bagian dari karbondioksida? Ataukah kata-kata hanyalah paduan dari beberapa huruf sehingga bisa dimengerti oleh yang mendengarnya? Benarkah kata-kata itu memiliki daya?

Dalam film peperangan misalnya, kata-kata yang diucapkan oleh komandan mampu menggelorakan semangat prajurit. Tapi itu dalam film. Pada fakta sejarahnya, bisa jadi kata-kata komandan, pemimpin, imam, rasul, nabi, lebih dahsyat kekuatannya. Sayang sekali sejarah hanya bisa dibayangkan dan diinsyafi.

Menurutku, kata-kata bukan sekedar kata. Dia mengandung daya yang dapat mengubah sesuatu menjadi ini atau itu. Kata-kata dapat mengubah manusia menjadi apa saja yang dikandung dalam kata, konstruktif maupun destruktif. Termasuk kata maaf, memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Dengan minta maaf dan memaafkan mestinya hubungan kedua pihak itu menjadi lebih baik dari sebelumnya, bukan malah menjadi dingin dan beku. Mestinya permohonan maaf dibarengi dengan perubahan sikap yang ramah. Begitupun dengan pemberian maaf, mestinya dilanjutkan dengan keramahan yang nyata, bukan semu, apalagi dengan kebekuan sikap dan hati. Jika tidak demikian, maka kata maaf benar-benar tak bernyawa. Mati!

Kutanya padamu
Kau jawab dengan bisu
Kutepuk pundakmu
Nyatanya kamu batu

(MT@Cihideung Forest)

  • 18/12/2008