Ngaku-ngaku

Pernah kejadian dalam sebuah pertemuan antar pengguna maupun awak media di Jakarta, seseorang di depanku mengaku sebagai orang dari salah satu media mainstream. sebut saja, ia memperkenalkan diri sebagai “Orang Kompas”. Aku tak tahu apakah kala mengaku sebagai “Orang Kompas”, orang itu memikirkan dampaknya apabila kemudian diketahui bahwa ia bukan siapa-siapa dan tak ada hubungan apa pun dengan Kompas. Minimal, tidakkah khawatir malu apabila ketahuan cuma ngaku-ngaku.

Mungkin bagi orang yang tak yakin dengan reputasinya sendiri, agak berat untuk memperkenalkan diri sendiri apa adanya. Boleh jadi ia malu memperkenalkan dirinya yang tak terkenal, sebab itu membutuhkan semacam pengatrol gengsi agar merasa dikenal. Orang seperti ini biasanya butuh pengakuan, tetapi malangnya ia sendiri tak sudi mengakui dirinya sendiri. Ia lebih suka merasakan menjadi “seolah-olah” atau mungkin menjadi “seperti”.

Pernah juga kubaca ada orang yang mengaku sebagai anggota polisi, tentara, atau profesi apa pun di kampungnya. Ada yang mengaku karyawan bank, pengacara, dokter, guru, kiai, pastor, preman terminal, dan sebagainya. Kalau kamu penasaran, kasus-kasus yang seperti ini mudah dicari dalam bagian berita kriminal di media cetak atau online. Cari saja, tak sulit menemukannya.

Selain kasus di atas ada juga orang yang “ngaku-ngaku” kenal dan dekat dengan tokoh terkenal. Seolah-olah dengan memperkenalkan dirinya dekat dengan seorang tokoh, membuat dirinya merasa terhormat. Pernah kualami seorang temanku mengaku sangat dekat dengan seorang musisi kenamaan. Ia mengumbar cerita tentang musisi tersebut. Orang Betawi bilang, “nyerocos ngalor-ngidul” hanya agar dianggap hebat. Malangnya, temanku itu tak tahu kalau orang yang mendengarkannya amat dekat bahkan bisa dibilang masih keluarga dengan musisi yang ia ceritakan. Terbayang bagaimana salah-tingkahnya.

Begitulah kawan. Memperkenalkan diri sebagai orang lain atau dekat dengan orang terkenal, akan membebani diri sendiri.

Jika mau dicoba, saat keadaan memaksa untuk memperkenalkan diri, lalu kita memperkenalkan diri sebagai diri sendiri yang bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, itu lebih enak, lebih mudah, dan tentunya lebih ringan sebab tak ada beban kebohongan yang disembunyikan. Lagi pula tak akan ada orang yang protes kalau kita adalah diri kita sendiri dan bukan orang terkenal.

Bagaimana nasib “orang kompas” yang mengawali tulisanku ini? Ia ditanya oleh seseorang, tentang sebagai apa di Kompas, wartawan Kompas cetak atau online, dan sebagainya. Yang merasa “Orang Kompas” akhirnya menyebut ia Kompasianer. Sebuah jawaban yang membuat penanya itu menjelaskan apa bedanya Kompas dan Kompasiana. Aku tersenyum menyaksikan kejadian itu, apalagi saat mengetahui orang yang bertanya itu adalah Orang Kompas yang sebenarnya, setelah ia menunjukkan kartu identitas resmi sebagai orang media tersebut.

Kapok?

Posted from WordPress for Android

  • 18/08/2014