Merasa Paling Susah

Saling adu susah. Itu sering terjadi dalam perkongkowan. Teman yang satu sedang menceritakan kisah sedihnya kecopetan di bus. Teman yang lain menimpali dengan kisahnya saat kehilangan laptop. Ada lagi yang lainnya, untung bukan cerita yang lebih parah: kehilangan bini, misalnya. 🙂

Kadang kita menemui situasi seperti itu. Kumpul, ngobrol, isinya cerita duka melulu. Seperti yang kusimak di warkop (warung kopi). Selain merasa sedih karena kehilangan sesuatu, ada juga yang cerita seolah dirinya ditindas oleh atasan. Satu orang memulai cerita baru, cerita yang nyaris sama pun diceritakan oleh yang lainnya. 

Dalam hati aku menyimpulkan, kayaknya mereka yang sedang ngobrol di warkop ini sedang buka “forum kesengsaraan tak berkesudahan”. 

Memang kita tak bisa hidup sendiri. Kita perlu teman untuk curhat. Untuk melempangkan perasaan dari kesedihan. Memang benar, belum tentu curhat menyelesaikan persoalan. Tapi kerap kita cuma butuh curhat. Bahkan biasanya setelah curhat perasaan bisa terasa plong. 

Satu lagi, salah satu temannya datang. Ia langsung curhat, “gokil. Pintu kontrakan rumah gue digembok sama yang punya. Udah 3 bulan sih gue belom bayar kontrakan. Gue gak bisa masuk nih.”

Teman-temannya menimpali dengan cerita masing-masing yang setema. Kali ini tentang betapa susahnya punya rumah di Jakarta. Ada juga yang cerita tentang nestapa di rumah mertua. Ada juga yang merasa tertipu kampanye rumah DP 0 rupiah. Macam-macam kisah tapi satu tone: lantun sengsara. Playing Victim.

Mikir juga, sih. Bahaya kalau merasa paling susah itu jadi kebiasaan. Lama-lama bisa mengurangi kejernihan menganalisa persoalan, gampang putus asa, sering mengkritik tanpa dasar, dan mendendam liar tanpa rencana. Nggak logis, singkatnya begitu.

Terlintas dalam pikiranku, andai mereka ini berlomba-lomba merasa jadi orang paling bahagia, mungkin ceritanya akan lebih enak disimak kali ya. He he he…

  • 10/01/2018