Mengerat Kehidupan

Masih ada saja mereka yang begitu pandai menerka hati seseorang walaupun banyak salahnya. Mereka menganggap dirinya orang suci yang selalu bisa menyelesaikan setiap persoalan walau bukan persoalannya. Merasa hanya mereka yang memiliki pengalaman hidup yang kaya, spiritualis, dan riil. Dan puncak kebodohan mereka adalah mengganggu hubungan antara seseorang dengan Tuhannya, dengan merasa tahu bagaimana kualitas spiritual orang lain.

Kebanyakan teman-temanku tidak suka kalau hubungan spiritualnya dicampuri orang lain. Bagaimana pun buruk dan baiknya hubungan spiritual, tak perlu orang lain ikut campur. Karena itu adalah urusan individu dengan Tuhan. Hanya mereka berdua saja yang tahu dan boleh mengubah sekehendaknya.

Menurutku apa yang terjadi antara seseorang dengan Tuhannya adalah rahasia mereka. Apabila citra hubungan tersebut dapat terbaca lewat perilaku kehidupannya, itu wajar. Biasa saja. Sudah sejak dulu manusia dapat melakukan tindakan benar dan salah, baik dan buruk, boleh jadi itulah yang menyebabkan mereka disebut manusia. Dan Tuhan pun sangat terbiasa dengan itu semua. Bahkan Dia terbiasa dicintai dan dikhianati. Tak memengaruhi keberadaan-Nya sama sekali. Jadi aku pun ingin agar aku dipandang sebagai manusia sebagaimana Tuhan memandangku secara manusiawi, yang kadang hitam atau putih.

Dalam kemanusiaanku, aku berpikir tak perlu orang lain tahu apa yang kualami, bagaimana suasana bathinku, dan apa yang aku lakukan demi kemanusiaanku. Sebab aku yakin setiap orang punya cerita sendiri tentang kemanusiaannya, tentang harapan dan nasibnya. Orang lain tak akan peduli terhadap apa yang kurasakan, terhadap harapan dan nasibku. Kecuali jika mereka melihat ada sesuatu yang bisa mereka dapatkan.

Manusia makhluk sosial. Itu rencananya. Tapi dalam kehidupan nyata justru manusia sangat individual. Manusia hanya memikirkan obsesinya sendiri. Walaupun sempat bersosialisasi tetapi ternyata hanya untuk kepentingannya sendiri. Belum pernah aku menemukan orang yang sosialis murni, sejati, (akh, istilah murni dan sejati sepertinya tak pantas disematkan untuk ciptaan Tuhan!). Tapi aku pernah mendengar orang yang seperti itu, yang sekarang hanya menjadi legenda, yaitu para nabi. Kini tak ada lagi seorang nabi. Yang ada hanyalah orang yang merasa mulia seperti nabi. Bahkan lebih!

Anggapan orang harus diyakini sebagai kebenaran yang nisbi dan bisa berubah. Sebab pandangan mereka dibatasi oleh ruang dan waktu. Mata, telinga, hati, dan pikiran manusia dibatasi oleh siang dan malam. Sederhana sekali. Hanya dengan siang dan malam saja kita terbatasi. Jadi mana pantas manusia punya penilaian yang berlebihan terhadap orang lain?

Ada orang yang menghinaku. Adalah mereka yang belum pernah bisa memberikanku waktu untuk menjadi lebih baik. Aku nyatakan kepada mereka, bahwa apa yang mereka hinakan terhadapku belumlah seberapa. Tak akan menggoyahkanku. Karena sesungguhnya aku lebih hina dari apa yang mereka hinakan. Aku lebih gila dari yang mereka sangka. Aku lebih tak karuan ketimbang cacian dan fitnah mereka. Aku lebih minus dari apa yang mereka anggap. Tapi aku tak sejahat yang mereka umpat.

Membalas kejahatan dengan kejahatan lain, hanya meniscayakan kesia-siaan. Kuakui memang sulit meluruhkan dendam. Tetapi kadang ada hal-hal tak terduga, kebetulan, atau apalah namanya, yang begitu saja bisa meluruhkan dendam yang mengarat di hati kita. Jika dendam merepih, permaafan adalah obat yang dapat merawat luka. Aku tak ingin -sekali lagi- tersiksa oleh dendam yang mengerat kehidupanku.

Ya!

  • 06/01/2014