Lelaki di Bunderan HI

Di Bunderan Hotel Indonesia. Seorang lelaki berpakaian compang-camping duduk di tepi kolam. Dekil. Celana cutbrainya robek-robek mulai dari dengkul ke bawah. Rambutnya gondrong dan awut-awutan. Ada debu, pasir, daun-daun kering yang nyangsang di rambutnya itu. Ada gelang di tangan kanannya. Gelang hitam terbuat dari aspal. Orang bilang, itu namanya Gelang Bahar. Pada lehernya tergantung sebuah kalung dengan potongan karton bekas bungkus mie instan yang tertera tulisan dari spidol hitam. Tulisan itu terbaca, “Orang Gila!!!”.

Entah siapa yang mengalungkan karton itu di lehernya. Aku yakin bukan dia sendiri yang mengalungkan benda yang membuatnya makin diperhatikan orang. Mungkin ada orang yang iseng mengenakan kalung itu kepadanya. Mungkin dengan tulisan tersebut, orang yang mengalungkannya ingin memberitahu pada dunia kalau laki-laki itu gila. Mungkin pengisengnya berniat agar orang-orang yang melintasi Bunderan HI hati-hati terhadap laki-laki itu. Mungkin!

Tetapi, apakah laki-laki yang dilabeli orang gila itu harus ditakuti?

Aku masih mendengarkan radio dengan earphone di telinga. Kebetulan stasiun radio yang aku dengarkan juga mengabarkan keberadaan laki-laki di tepi kolam Bunderan HI itu. Informasi itu diberikan oleh salah seorang pengendara mobil yang juga pendengar stasiun radio tersebut. Memang stasiun radio amat terbuka terhadap informasi yang bersumber dari pendengarnya sendiri. Seperti siang ini, ada informasi dari pendengar yang memberitahukan kepada khalayak radio, kalau ada orang gila di tepi kolam Bunderan HI. Pembawa informasi itu mengingatkan agar para pendengar waspada karena bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tambahnya, tidak ada petugas yang mengamankan laki-laki itu. “Ini bisa berbahaya!” Kata pembawa informasi tersebut.

Kumatikan radio, kugulung kabel earphone dan menyimpannya di tas pinggangku. Aku menunggu lampu merah menyala agar bisa menyebrang menemui laki-laki yang disebut orang gila itu. Di tepi kolam Bunderan HI kudekati ia yang sekarang sedang terpaku menatap Patung Selamat Datang. Aku sapa laki-laki itu dengan senyuman. Pandangannya beralih kepadaku dengan tatapan mata yang sepertinya menembus jasadku. Aku tanya padanya sedang apa di sini. Iapun tertawa sendiri. Aku tak ikut tertawa. Hanya tersenyum saja. Ia kembali memperhatikan Patung Selamat Datang di atas sana. Lalu kembali tertawa. Tangannya melambai-lambai seperti orang meremehkan orang lain. Sambil terkekeh ia bilang padaku kalau “laki-bini” di atas sana goblog. Ia bilang lagi, dari tadi ia memanggil “laki-bini” itu dan seolah-olah bersembunyi dari patung tersebut.

“Dia pikir saya ada di tempat lain. Padahal saya ada di sini, hahahaha!” Tawanya semakin terbahak-bahak. Ia bilang, ia bisa mengelabui laki-bini yang tidak melihat dirinya di bawah. Ia juga bilang kalau dia punya ilmu tembus pandang. Katanya dengan ilmu itu orang-orang tidak bisa melihatnya. Ia pun merasa bebas melakukan apa saja semaunya.

Lalu ia memaksaku menjawab pertanyaannya, “Kamu nggak ngeliat aku, kan!?” berulang-ulang ia memaksaku menjawab. Aku mengangguk-angguk saja. Ia balas dengan makian, “Bodoh! Kalau kamu nggak liat aku, mukamu jangan dihadapkan ke aku, dasar bodoh! Mestinya kamu melihat ke arah sana!” Tunjuknya ke arah aku datang.

Aku merasa terkecoh dengan sikapnya beberapa menit ini. Patung itu ia anggap bodoh karena tak melihatnya sedangkan aku dianggap bodoh karena memandangnya. Ia menembangkan sebuah nyanyian dengan bahasa daerah yang tak perlu aku sebutkan di sini. Khawatir menyinggung SARA.

Kembali tatapannya bolak-balik menatap patung, lalu menatap mataku. “Kamu anaknya laki-bini itu?” sambil menunjuk patung di atas sana. Aku jawab bukan. Tapi dia yakin kalau aku anak patung. Ia beralasan kalau mukaku mirip dengan laki-laki di atas itu. Lalu ia berdiri tegak ke arahku. Tangan kanannya ditempelkan ke pelipis kanan, memberi hormat kepadaku. Ia bilang aku anak presiden. Sampai di sini aku tak kuat menahan tawa. Akupun tertawa cukup lama karena dia menganggapku anak presiden dan dia menganggap laki-bini di atas sana itu adalah Presiden dan Ibu Negara.

Lelaki berpakaian compang-camping dengan bau tak sedap yang kuhidu setelah dekat dengannya, menyampaikan orasi dekat batang hidungku. Ia menyatakan, aku lebih baik dari bapak-ibuku. Ia menghormatiku karena mau mendekati rakyat yang setia pada negaranya. Ia senang aku mau mendekatinya, menemaninya, mengetahui ilmu tembus pandangnya, dan mendengarkan isi hatinya. Ia juga bilang kalau bapak-ibuku, Presiden dan istrinya di atas itu, tak pernah tahu kalau rakyatnya memanggil walau dari bawah mereka, walau berdekatan dengan mereka. Tetapi walaupun ia tersinggung dengan sikap laki-bini di atas sana, ia menyatakan tetap menganggapnya sebagai pemimpin negeri ini. Ia tetap akan membantu laki-bini itu memimpin negeri yang besar ini sampai titik darah penghabisan tanpa meminta imbalan sepeserpun. Karena baginya hidup adalah pengabdian kepada pemimpin. Ia menasihatiku. Katanya, bapak-ibuku di atas sana adalah orang-orang pilihan yang harus dicintai walau tidak pernah dekat dengan rakyatnya.

Kutanya kepadanya, siapa yang mengalungkan karton di lehernya. Ia menyanggah kalau kalungnya bukan kalung biasa. “Ini pemberian dari guru saya, atas ujian akhir yang berhasil saya jalani”. Gurunya memberinya penghargaan karena ia sudah bisa menerapkan ilmu tembus pandang. Selanjutnya ia ngoceh, berencana menemui anggota kabinet negeri ini. Ia bilang kalau orang yang telah lulus ilmu menghilang, mempunyai tugas mulia dari gurunya untuk menasihati para pemimpin negeri ini, untuk membisikkan nasihat kepada mereka semua, yang bisa mereka rasakah melalui firasat, mimpi, atau bisikan hati. Setelah itu ia berencana akan mengunjungi anggota legislatif dan penegak hukum, untuk membisikkan nasehat agar mereka menjalankan tugas dengan ikhlas, tak mencicipi fasilitas negara untuk kepentingan lidahnya.

Kujabat tangannya, sambil mengucapkan selamat jalan dan selamat bertugas. Ia terharu sekali karena merasa telah mendapatkan keistimewaan bisa bertemu denganku, anak presiden yang peduli akan keberadaannya. Sebagai ucapan rasa haru, rasa bangga, dan rasa terima kasih, ia ingin sekali memberikan kenang-kenangan untukku, tapi ia tak punya harta kecuali “kalung” pemberian gurunya itu. Kubilang padanya, tak perlu memberiku kenang-kenangan. Tapi ia tetap memaksa dan mengalungkan tanda penghargaan itu di leherku sambil berucap, semoga dengan kenang-kenangan ini aku tetap mengingatnya sebagai rakyat yang setia. Lalu ia beranjak pergi dari tepi Bunderan HI ke arah jalan Jendral Sudirman, untuk menyelesaikan misinya.

Ada-ada saja!

Cerita ini adalah tulisan lama yang kutemukan di blog tuaku. Kuunggah pada 17 November 2005. Sudah lama sekali.

  • 04/11/2013