Kompleks Polisi

Pulang kerja selalu pesan ojek online di Terminal Bus Pulogadung. Ketika pengemudinya tiba, ia langsung menyapa ramah. Melajulah kami, mengantarku pulang melintasi jalur timur Jakarta yang sering macet. Kesal? Nggak, sudah biasa. Malah kalo nggak macet, jadi aneh.

Tak berapa lama pengemudi memastikan tujuanku, “ke Kompleks Polisi, kan mas?” lalu ia tertawa. 

“Kompleks polisi? Bukan, pak.” Kujelaskan nama tempat tinggalku, seperti yang tertulis pada aplikasi pemesanan ojek online. 

“Ha ha ha, bener, mas. Tapi di kalangan tukang ojeg, kompleks rumah mas itu dibilang kompleks polisi, ha ha ha…” ia menjelaskan pula kenapa lingkungan rumahku dijuluki kompleks polisi.

Rupanya para pengemudi ojek itu sudah hafal, kalau di kompleks tempat tinggalku itu banyak banget polisi tidur. Aku tertawa mendengar cerita pengemudi itu. Ya, memang benar, sih. Aku saja sebagai warga setempat merasa keberadaan polisi yang kerjanya tidur melulu itu terlalu banyak. 

Coba Anda bayangkan. Dari pintu kompleks sampai ke rumahku, jaraknya cuma 600 meter. Dalam jarak segitu harus kulalui 16 polisi tidur. Dari 16 itu, yang landai cuma 2, sisanya kurang nyaman dilewati. Pengemudi ojek sering bilang, “itu tanggul banjir, bukan polisi tidur.” Aku tertawa saja. Mau dikata apa, sudah biasa kulewati dan aku berprasangka baik saja kalau polisi tidur itu dibuat bukan untuk mencelakakan orang, tetapi agar pengendara dapat mengurangi kecepatan. 

Di suatu hari, aku dan Miki motoran. Saat kami hitung, ternyata benar juga kata pengemudi ojek itu, jumlah polisi tidur dari pintu kompleks ke depan rumahku memang ada 16 speed trap. Di setiap jalan blok-blok perumahan rata-rata ada polisi tidur 5 hingga 8 buah. Benar-benar banyak sekali untuk satu kompleks yang tak luas. Wajar kalau pengemudi ojek menjuluki sebagai “Kompleks Polisi” he he he.

  • 06/01/2018