Kemiskinan Bukan Akar Radikalisme dan Terorisme

Menganggap kemiskinan sebagai akar terorisme adalah sebuah kekeliruan. Kerap kali aku mendengar pernyataan demikian dari para tokoh maupun pejabat pemerintah. Meskipun anggapan tersebut didukung oleh penelitian dari luar negeri, menurutku tetap saja akarnya bukan itu.

Menteri Sosial Juliari Batubara juga berujar tentang hal itu.

“Radikalisme dan terorisme akarnya adalah dari kemiskinan. Sehingga yang harus diperangi bersama itu kemiskinan, bukan orangnya. Tiap hari bisa kita tangkap teroris, tapi tidak akan cukup waktunya. Tapi kalau sumber permasalahan yang kita perangi, maka negara ini akan subur,”

Juliari Batubara, Menteri Sosial dalam acara Program Keluarga Harapan (PKH) Apretiation Day 2019, di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (27/11/2019) malam (beritasatu)

Beliau mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, yang memapar data kemiskinan bulan Maret 2019. Menurut BPS Persentase penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 9,41 persen, menurun 0,25 persen poin terhadap September 2018 dan menurun 0,41 persen poin terhadap Maret 2018. Artinya jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang.

Bersama sahabat dari Papua dan Bojongsoang yang cinta Indonesia

Coba kita perhatikan, jumlah penduduk miskin sebanyak 25,14 juta orang. Itu orang semua tak termasuk jembatan, rumah kumuh, dan pohon-pohon kering. Manusia semua itu.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), jumlah orang Indonesia yang terlibat terorisme cuma 2,7 juta. Itupun tanpa catatan bahwa mereka adalah sobat missqueen. Bandingkan dengan jumlah orang miskin yang ada 25,14 juta. Bahkan menurut Peneliti Ahli BNPT Sidratahta Mukhtar, jumlahnya cuma 1% dari total penduduk Indonesia. Bandingkan data kemiskinan yang mencapai 9,41% dari total penduduk Indonesia.

Soal kemiskinan adalah PR pemerintah yang nggak kelar-kelar sejak zaman Sukarno hingga kini. Janganlah itu disangkutpautkan dengan terorisme. Sudahlah miskin rakyatnya, dituduh radikal pula. Ini pun sebenarnya masih perlu dipertanyakan kembali apakah pemerintah benar-benar sanggup menanggulangi kemiskinan. Lha wong untuk jaminan kesehatan saja pemerintah mewajibkan rakyatnya sendiri bayar iuran BPJS. Tetap saja rakyat yang menanggung sendiri kemiskinan saudara sebangsa.

Pemerintah dan pihak berwenang dengan isu terorisme mestinya mempertimbangkan faktor lain sebagai pemicu intoleransi, radikalisme, ekstremisme, hinggal terorisme selain faktor kemiskinan.

Perhatikan soal akar budaya masyarakat kita. Menurutku melunturnya identitas budaya bangsalah yang menjadi salah satu akar terorisme. Melestarikan seni budaya ribuan suku di Indonesia dapat menjaga kegalauan identitas kebangsaan itu sendiri. Perlu didukung upaya pelestarian seni budaya dalam bermacam bentuk karya seni visual termasuk lukisan, perfilman, teater, pertunjukkan tradisional dan yang lain untuk melawan simbolisme visual yang disebarkan melalui internet dan media sosial.

Aku melihat sendiri dalam berbagai kesempatan pertemuan budaya dapat mempererat rasa persatuan bangsa. Salah satunya adalah saat aku hadir dalam kegiatan Persamuhan Nasional Pembakti Kampung di Anyer, Banten. Kami yang berkumpul dari Sabang sampai Merauke merasakan betapa sekira 500-an peserta merasa bangga dengan identitas suku dan identitas bersama sebagai orang Indonesia.

Sebelumnya aku pun berada dalam ribuan (sekira 4000 anak muda) berkumpul dalam acara Tao Silalahi Festival di tepian Danau Toba, Sumatera Utara. Acara kaum muda dari beragam komunitas hobi bisa berkumpul dan meneguhkan sikap cintanya pada budaya leluhur.

Selain itu pusat-pusat pendidikan keagamaan juga amat berpengaruh dalam menjaga kebinekaan. Kita dapat melihat bagaimana pesantren sejak dulu tak mendidik santrinya untuk membenci orang-orang yang berbeda madzhab maupun agama. Mereka bahkan bisa menerima kehadiran tamu berbeda agama yang ingin melihat secara langsung kehidupan di pesantren. Mereka yakin berinteraksi dengan orang yang beragam latar belakang malah menumbuhkan kesadaran hidup bersama sebagai masyarakat multi-kultural. Para Kiai tak pernah mengkhawatirkan santrinya berinteraksi dengan penganut agama lain sebab mereka telah menanamkan akidah Tauhid dan bagaimana hidup bermasyarakat kepada santrinya.

Jadi aku mengingatkan kembali kepada siapapun bahwa, kemiskinan bukan akar radikalisme maupun terorisme. Adapun pelaku teroris memiliki sentimen negatif terhadap kesenjangan ekonomi memang iya namun itu bukan pemicu mereka bergabung dalam gerakan ekstrem dan melakukan aksi terorisme.

Kemiskinan adalah persoalan pemerintah yang tak kunjung selesai tertangani karena memang mereka yang bermain dalam urusan politik tidak pernah benar-benar berpihak kepada kaum miskin dan marjinal.

Perlu diskusi lebih mendalam untuk menguji pendapatku soal keterputusan budaya (uprooted culture) sebagai akar intoleransi dan ekstremisme yang pada waktunya memicu aksi terorisme. Dalam hal ini perlu keterlibatan multi pihak di luar aparat keamanan. Sudah saatnya persoalan ini dibahas di luar dari tinjauan security-act saja.

Boleh jadi kita perlu diskusi dari tinjauan antropologi, lingkungan,
teknologi, dan etnologi.

Selamat memikirkan tindaklanjutnya!

  • 28/11/2019