Kembali ke SD

Satu hal yang belum berubah dari zamanku ke Zaman SD anakku sekarang adalah, meja masih menjadi media berekspresi yang menyenangkan.

Pikiranku melesat jauh beberapa tahun saat aku masih bocah. Kira-kira saat aku kelas 3 atau 4 SD. Kuingat sekali sering menggambar di meja dengan pulpen atau pun cairan penghapus. Dulu merk yang terkenal namanya Tip-Ex. Kadang dengan adanya “Tip-Ex” itulah seringnya kreativitas terlatih.

Masih kuingat saat bikin komik strip di meja. Cairan penghapus berwarna putih itu pas banget untuk membuat 3 kotak untuk kolom komik dan balon percakapan. karena warnanya putih, saat dibuat sebagai balon percakapan makin membuat komik menarik, sebab saat kering, di balon berwarna putih itulah ditulis percakapan komik dengan pulpen.

Warna tinta pulpen pun berguna juga. Biasanya untuk percakapan standar menggunakan warna hitam atau biru. Khusus untuk dampratan, ekspresi marah, kejutan, dan segala yang dramatis, biasanya ditulis tebal dengan pulpen bertinta merah.

Boleh jadi teman-teman yang membaca tulisan ini, punya kenangan yang sama denganku: Menggambar di meja kelas. Dan beruntungnya, saat itu tak pernah sekalipun aku dihukum karena kebiasaan itu. Apakah guruku saat itu memahami meja sbg media kreativitas bebas buat murid atau memang tak peduli kenakalan muridnya yang penting tidak mengganggu ketertiban kelas. Entahlah. Aku ambil kenangan positifnya saja.

Menulis atau tepatnya mencoreti meja rupanya masih menjadi kebiasaan anak-anak SD. Seperti yang kulihat pagi ini. dari 20 meja yang berjajar di ruang kelas 3, hanya 1 meja yg agak sedikit coretan tangannya. Bermacam kisah dan imajinasi boleh jadi terekam pada goresan tangan anak-anak kelas 3 ini.

Mungkin kecuali kelas 5 dan 6 masih dianggap wajar melakukan kebiasaan itu. Berbeda ketika aku membandingkan dengan kelas 5 dan 6 di SDN ini. Meja di kelas 5 bersih dari coretan tangan. Boleh jadi di kelas ini, murid sudah diajarkan menjaga kebersihan perangkat kelas. Lebih menarik lagi saat aku memasuki kelas 6. Mejanya bukan hanya bebas dari coretan, tetapi justru dihias menjadi sangat indah.

“Kreativitas corat-coret anak-anak kelas 5 dan 6 sekarang sepertinya lebih banyak di facebook. Mereka sering terlihat fesbukan dengan smartphone.” Jawab salah satu orang tua murid yang juga sedang mengambil rapor anaknya. Ia pun menceritakan kegiatan fesbukan anaknya. Kabar baiknya, facebook hanya dipakai untuk berinteraksi dengan keluarga dan teman-teman yang sudah dikenal baik.

Beberapa kabar tentang kasus penculikan, penipuan, dan pemangsaan anak dan remaja melalui media sosial membuat orang tua tertentu waspada terhadap ancaman yang tak terkira bagi anak-anak. Berbagai modus dilakukan oleh sang pemangsa untuk menjerat anak atau remaja yang ditarget sebagai korbannya.

Di Jabodetabek, -seperti dilansir kompas.com- menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak, per April 2013 dari 87 kasus kekerasan seksual pada anak, yang menjadi korban kejahatan melalui facebook ada 37 kasus. ini baru di Jabodetabek saja. Ini jelas mengkhawatirkan. Perlu kesadaran dari berbagai pihak, terutama orang tua agar lebih peduli terhadap interaksi anak-anak di lingkungan rumah, sekolah, dan media sosial (internet).

Bukan hanya itu. Keberanian untuk melapor juga perlu digalang bersama. Siapa pun, orang tua ataupun om dan tante, harus berani melaporkan segala ancaman di media sosial.

Kampanye Internet Safety harus menjadi gerakan nasional dan dimulai dari Sekolah Dasar. Sebab anak-anak SD sudah lazim berinternet lewat smartphone yang cenderung sulit dikontrol orang tua. Itulah kenapa kita harus kembali ke SD untuk memulai gerakan nasional ini.

Tunggu! Kenapa dari kreativitas di atas meja pembahasanku beralih ke soal internet safety? Aku sedang mengambil rapor anakku. Sambil menunggu panggilan satu persatu, berbincang dengan orang tua murid lainnya. Begitu!

Jadi, pernahkah kamu melukis di meja kelas? Hahahaa…

  • 23/12/2013