Kekayaan Tak Terbeli

Seorang Da’i (pengajar agama Islam) dari Negara Tetangga se-Asean, datang untuk yang kesekian kalinya ke “rumah” kami. Maaf tak kusebut nama negaranya sebagai upaya melindungi privasi tamu kami. Sejak kedatangannya, ia tiada henti bercengkrama, bertukar pikiran, sharing pengalaman, hingga eksplorasi spiritual.

Selesai berdialog pada malam pertama, ia melanjutkan “pencariannya” dengan berburu buku. 3 juta rupiah ia siapkan untuk mendapatkan buku-buku yang disinggung dalam dialog pada malam sebelumnya. Dengan diantar oleh anggota keluarga kami, sang Da’i menelusuri Jakarta hingga Bandung untuk mendapatkan buku-buku yang kebanyakan sudah tidak dicetak ulang oleh penerbit. Setelah dua hari berturut-turut berjibaku di Jakarta dan Bandung, ia kembali ke “rumah” kami dengan tumpukan buku yang diburunya. Raut bahagia tergores pada wajahnya.

Beberapa malam ia tenggelam dalam lautan kata dari buku-bukunya. Hingga pada malam terakhir ia kembali berdialog dengan kyai. Aku menyediakan laptop dan link website yang mendukung dialog mereka, lalu kutinggalkan mereka berdua bercengkrama dalam dialog spiritual. Sang Da’i merasa ringan. Ia merasa mendapatkan apa yang selama ini dicarinya.

Apakah yang dicarinya?

Setelah pulang kembali ke negaranya, kami mendiskusikan tentang saudara serumpun kami, sang Da’i. Ternyata tujuan utama kedatanganya ke Bogor adalah untuk menelusuri ajaran tarekat yang berkembang di Indonesia. Bertahun-tahun ia menjadi Guru Agama di dua negara tetangga, namun tak merasakan kepuasan bathin.

Di negerinya, majelis pengajian melulu diisi dengan kajian fiqih dan perbandingan ritual. Namun kegiatan tersebut tak memberikan kepuasan bagi jiwanya. Ia merasa kering, bagai tak bernyawa. Ia merasakan interaksi yang kaku dan membosankan.

Perjalanan spiritualnya beranjak pada tarekat. Ia menjalani suluk dari sebuah tarekat lama yang cukup populer di dunia. Perjalanan spiritualnya memberikan suasana yang sedikit berubah dalam dirinya. Ia yang merasakan sendiri perubahan tersebut, namun ia masih merasakan ada yang kurang, yang membuatnya belum genap memasuki dunia tasawuf. Iapun memutuskan berkunjung ke “rumah” kami. Niatnya adalah untuk mendalami sebuah tarekat.

Memang ia mendapatkan pengetahuan atas pencariannya. Ia mendapatkan dialog, buku, dan link yang bisa dipercaya kesahihannya. Tapi ternyata yang membuatnya puas bukanlah pencariannya pada jalan suluk, pada tarekat, pada dunia tasawuf.

Yang membuatnya damai adalah suasana kekeluargaan yang ia nikmati di “rumah” kami. Ia merasakan kesederhanaan dan kebersamaan di rumah yang kumuh ini. Ia merasa dihargai, bahkan ia merasa sebagai bagian dari anggota keluaga kami. Menetes air mata sang Da’i ketika perempuan tua yang kami hormati di sini, mengelus kepalanya. Satu hal yang tak pernah ia dapatkan dari orang tuanya sendiri.

Keluarga adalah kekuatan yang dapat menyatukan orang-orang yang tak mendapatkan kebahagiaan. Keluarga adalah kekayaan tak terbeli.

Kami bersatu di sini, dalam sebuah keluarga yang berbeda darah, beragam DNA. Tapi kami disatukan oleh ketulusan dan kejujuran. Kami adalah orang-orang yang terpisah dari keluarganya. Ada yang terpisah karena tak mau memperebutkan warisan, terpisah karena kelalaian, terpisah karena tak pernah ditawari makan, terbuang karena diceraiberaikan oleh perbedaan paham, terbuang oleh apapun yang membuat keluarganya berantakan. Lalu Tuhan menyandarkan kami pada sebuah keluarga bersahaja di Bogor.

Begitulah yang didapatkan oleh sang Da’i. Ia kembali ke negerinya dengan harapannya sendiri: kembali ke sini.

  • 07/08/2012