Kebebasan Berinternet Asia Tenggara Terancam

Kebebasan online sedang terancam di banyak negara Asia, khususnya Asia Tenggara. Hasil penelitian Freedom House menyatakan bahwa sebagian besar negara di wilayah ini “tidak bebas” atau “tidak sepenuhnya bebas.”

Sementara pemerintah Kamboja mempertimbangkan aturan baru dengan sanksi yang kaku mengenai komunikasi online yang tidak disukai pemerintah, Thailand yang demokratis terus memenjarakan mereka yang mengkritik pemerintahan monarkinya. Myanmar telah menghapus beberapa hukum sensor yang sangat ketat, tapi kini berjuang melawan hate speech online dan pemerintahnya nampak tidak yakin mengenai apa yang harus dilakukan. Laos dan Vietnam terus menekan suara yang menentang penguasa. Vietnam punya komunitas online yang besar dan terus berkembang, tapi menulis mengenai suatu topik yang dipandang berbahaya untuk negara, dapat dipenjarakan. Laos baru mulai online, tapi pemerintah di sana sudah siap mengikuti tetangganya yaitu China dan Vietnam dalam menerapkan aturan online.

“Dari sudut pandang hukum dan kontrol konten, jelas tampak bahwa kebebasan sudah dimulai di Asia Tenggara,” kata Gayathry Venkiteswaran, direktur eksekutif Southeast Asian Press Alliance (SEAPA). “Penggunaan media online untuk ekspresi dan mobilisasi suara alternatif politik sedang meningkat,” tambahnya. “Dengan kata lain, masyarakat mengklaim ruang mereka tapi negara memberikan batasan-batasan mengenai hal ini.”

Berikut adalah ringkasan kondisi kebebasan berekspresi online di beberapa negara Asia Tenggara – Vietnam, Thailand, Myanmar dan Kamboja.

Sementara Myanmar memberikan angin segar, negara lain tampaknya tidak nyaman dengan begitu banyak ekspresi kebebasan online dan mempertimbangkan batasan baru yang lebih ketat.

Kita mulai dari Vietnam

Vietnam

Negara dengan batasan paling ketat terhadap media online di Asia Tenggara adalah Vietnam. Menurut laporan Freedom House, Vietnam berada pada peringkat terbawah di Asia  pada tahun 2013 mengenai Kebebasan Berinternet. Disusul China di bawahnya. Keadaan seperti ini dikategorikan sebagai “tidak bebas.”

Awal bulan ini, Vietnam menangkap dua aktivis demokrasi di Hanoi karena menulis artikel kritis mengenai pemerintah. Kedua orang ini, Nguyen Huu Vinh and Nguyen Thi Minh Thuy, dituduh melanggar Passal 258. Hukumannya adalah penjara maksimum 7 tahun. Selama 3 bulan pertama di tahun 2014, setidaknya 6 orang mengalami masalah serupa. Vinh adalah pendiri sebuah blog dengan banyak pembaca yaitu Basam, yang berisi artikel dari press lokal dan kritik terhadap pemerintah.

“Penangkapan blogger Vietnam yang diduga melecehkan ‘kebebasan berdemokrasi’ ini adalah gerakan yang mengerikan,” kata Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch untuk wilayah Asia. “Vietnam harus segera menarik tuntutan yang tidak masuk akal ini, dan kemudian mengambil langkah berikutnya dengan membatalkan Pasal 258 dan provisi lain undang-undang pidana yang sering digunakan untuk membungkan kebebasan berekspresi.”

Pada tahun 2013, Vietnam menyusul Iran sebagai negara dengan sanksi bagi pengguna internet terburuk kedua di dunia, setelah China. Reporter Without Borders mengatakan bahwa lebih dari 30 orang dipenjarakan. Dan negara mengakui telah mempekerjakan 1.000 “pembentuk opini publik” yang pro pemerintah untuk meredam suara-suara kritis.

Taktik yang sangat kaku ini, menurut Pham Doan Trang, rekan Vinh’s, yang menulis di Basam.info, sudah diketahui publik. Vietnam punya sekitar 34 juta pengguna internet, termasuk 20 juta pelanggan Facebook. “Kita tak bisa kembali ke tahun-tahun tanpa akses ke dunia luar. Dengan kata lain, demokrasi adalah proses yang tak bisa dihindarkan dan diputarbalikkan,” demikian ia mengatakan kepada DW. Ia menambahkan bahwa lima hari setelah Vinh ditangkap pada tanggal 5 Mei, websitenya kembali bisa diakses dan dibanjiri komentar yang suportif.

Ia mengatakan bahwa Vietnam tidak membangun Great Firewall, sebagaimana dilakukan China. Bukan karena tidak ingin, namun karena keterbatasan biaya dan teknik.

Bagaimana di Kamboja?

Kamboja

Kerajaan dengan 15 juta penduduk yang terletak di antara Vietnam dan Thailand ini mengungguli negara-negara Asia Tenggara lain dalam peringkat Freedom House, dan dikategorikan sebagai “tidak sepenuhnya bebas.”

Sampai saat ini, hanya sedikit warga Kamboja yang menikmati akses internet. Sekitar 80 persen populasi tinggal di wilayah pedesaan, bahkan tanpa listrik. Komunikasi online kaum minoritas urban lebih didominasi berita selebritas dan perjodohan dibanding tulisan dengan konten politik.

Namun, angka penetrasi internet negara ini berkembang pesat. Data dari Kementrian Pos dan Telekomunikasi menyatakan bahwa penetrasi internet antara 18 sampai 20 persen – sementara lima tahun lalu, Bank Dunia menyatakan penetrasi ini turun hingga 0,5 persen. Telepon pintar yang murah, jangkauan layanan 3G yang lebih baik dan Facebook adalah alasan peningkatan ini. Kini, yang sedang trend adalah video kecelakaan lalu lintas, penegakan hukum bagi petugas pengamanan yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dan pejabat yang tertangkap basah.

Pada tahun 2012, pemerintah mengatakan bahwa negara akan mengadopsi Hukum Cybercrime untuk mengatur penggunaan internet dan menghentikan penyebaran “informasi yang salah” yang ditulis oleh “orang-orang yang berniat jahat.” Dalam bulan April, sebuah draft dibuat berdasarkan peraturan Pasal 19 organisasi kebebasan berekspresi yang berbasis di London. Aturan ini berisi provisi yang sejalan dengan Pasal 258 hukum serupa di Vietnam. “Hukum ini tidak jelas dan menentang segala bentuk resmi ekspresi online,” kata David Diaz-Jogeix, direktur program untuk Pasal 19.

NGO dalam pendampingan kebebasan berekspresi dan hak berekpresi sudah meminta pemerintah berkonsultasi dengan ahli hukum dan kelompok pejuang hak asasi sebelum mengesahkan hukum itu. Namun, pemerintah Kamboja tidak merespon dan sangat mungkin rancangan itu menjadi hukum yang berlaku tahun ini.

Sedikit ke arah barat: Thailand

Thailand

Negara ini menduduki tempat di bawah Kamboja dalam peringkat Freedom House, tapi masih tergolong “tidak sepenuhnya bebas”. Rakyat Thailand menulis secara online sejak 1995. Terdapat sedikit peningkatan dalam hal pembatasan sejak kudeta militer atas Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada tahun 2006. Hukum kejahatan komputer diberlakukan, dan provisi lèse-majesté ditegakkan.

Undang-undang Kejahatan Komputer bertujuan menghentikan penyebaran konten yang dipercaya mengancam keamanan nasional atau menimbulkan kepanikan. Tapi, pendamping kebebasan berekpresi mengkritiknya karena hukum ini membuat pengguna internet dengan mudah mereproduksi materi yang awalnya dipublikasikan oleh orang lain.

Menurut Freedom House, Thailand memblokir puluhan ribu website (21.000 URL di tahun 2012, meningkat dari hanya sekitar 5.000 tahun sebelumnya) dan laman-laman media sosial, dan memenjarakan beberapa orang karena menyebarkan informasi dan pendapat online via telepon selular berdasarkan aturan ini.

Bagaimana dengan Myanmar?

Myanmar

Myanmar bisa dianggap sebagai titik cerah di wilayah ini – setidaknya dibandingkan dengan sebelumnya. Sebelumnya negara ini punya sektor telekomunikasi yang paling represif dan paling tidak berkembang di dunia. Kemudian, di bulan Agustus 2012, Myanmar memberlakukan kembali kebijakan sensor media yang sudah ada selama 48 tahun.

Kini ada beberapa batasan mengenai konten online. Namun, hukum media yang represif tetap ada, dan bisa dipergunakan untuk menghukum ekspresi online. Draft untuk pengganti sudah dibuat namun dianggap tetap mempertahankan batasan konten dan memiliki sanksi yang kejam untuk segala pelanggaran.

Oleh karenanya, Freedom House memasukkan Myanmar dalam kategori “tidak bebas” dalam laporannya tahun 2013. Masalah utamanya adalah akses internet yang terlalu mahal bagi sebagian besar populasi. Estimasi yang dibuat tahun 2012 menyatakan bahwa penetrasi internet hanya 2 persen. Masalah etnis minoritas di negara tersebut terbawa hingga ke dunia maya. Hate speech dan propaganda rasis adalah hal yang biasa di dunia online dan ada kekhawatiran pemerintah akan memakainya sebagai alasan mempertahankan batasan mengenai hal itu dalam hukum yang baru.

Bagaimana peran ASEAN?

Peran ASEAN

Banyak pendampingan hak asasi dan press berharap kesepuluh negara anggota ASEAN {Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara} memuat kebebasan berekspresi di internet dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia, yang ditandatangani pada tahun 2012. Namun ternyata yang terjadi tak seperti yang diharapkan. Dokumen tentang jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat diadaptasi dari Deklarasi Hak Asasi Manusia di Amerika, dengan menghilangkan frasa “tanpa memandang batas negara.”

“Penghapusan frasa tersebut sangat mengkhawatirkan di zaman komunikasi internet tanpa batas dan dengan adanya integrasi dan pertukaran berita lintas media regional ini,” tutur Gayathry Venkiteswaran dari SEAPA. “Tak ada instrumen pengikat apa pun di wilayah ini, yang dibuat oleh ASEAN,” tambahnya. “Jadi, tak diragukan lagi, situasi [di Asia Tenggara] saat ini memang sangat menyedihkan.”

sumber: DW diterjemahkan oleh @utamiutar

  • 21/05/2014