Kali Agus

Dari sebuah jendela kereta. Tatapanku terpaku pada sebuah kali di luar sana. Sayang sekali tak bisa berlama-lama melihatnya. Sebuah kali yang kini airnya semakin keruh. Kederasannyapun berkurang. Di sebelah kanan kali itu kini sudah berdiri bioskop megah dan pusat perbelanjaan berskala Internasional.  Sedangkan beberapa meter di sebelah kirinya, berdiri rumah susun. Meskipun keretaku melaju dengan cepat, tetapi pikiranku yang keluar melalui  dua bola mataku,  tertinggal di kali itu.
Laksana bawang merah, pikiranku mulai mengelupas lapisan-lapisan memori. Kisah lama tentang kali itu. Kecepatan kereta bisnis menuju Tulung Agung yang kutumpangi, kalah cepat dengan kecepatan pikiranku untuk membuka kembali cerita lama saat aku kecil dulu.
Kali yang kini tak lagi bersih, dahulu adalah tempatku bermain bersama teman-teman semasa kecil. Resminya kali itu bernama Kali Buaran. Tetapi aku dan teman-teman menyebutnya Kali Agus. Kenapa? Di akhir cerita nanti akan kujelaskan, kenapa kami menyebutnya begitu.
*****
Deru arus air kali dan laju derasnya selalu menjadi idaman aku dan teman-teman. Hampir setiap pulang sekolah kami menyempatkan diri bermain di kali.
“Ayo kita ngobak!” Ajak Camang, temanku yang paling jago berenang. Aku, Teguh, Yatna, Wawan, Kirdun, dan Yanto tak pernah menolak ajakan itu.
“Aku ganti baju dulu, ya!” Wawan minta ditunggu.
“Tak usahlah! Nanti keburu sore. Kan kita ada kompetisi bola.” Teguh mengingatkan.
“Sebentar saja, koq. Aku tak punya baju lagi buat besok sekolah. Kalau nanti basah atau kotor gimana?” Wawan beralasan.
“Ya sudah, jangan lama-lama, nanti kami tinggal!” Camang menegaskan. Wawanpun bergegas menuju rumahnya di ujung gang. Kami duduk menunggu di Pos Ronda. 
“Kalau lama, kita tinggal sajalah!” usul Yatna. Ia paling tak sabar kalau disuruh menunggu. Apalagi jika menunggu untuk mandi di kali. 
“Iya, yuk kita jalan aja!” dukung Yanto.
“Sebentar lagi. Tunggu aja. Repot nanti kalau dia ngambek, kita kurang satu orang buat ngadu bola.” Aku mengingatkan teman-teman karena sore nanti kesebelasan kami akan melanjutkan kompetisi sepak bola antar kampung.  Dan Wawan adalah salah satu striker andalan kami. Sayangnya, ia gampang sekali ngambek. Nah, kalau sudah datang ngambeknya, sulit sekali dirayu untuk kepentingan tim. 
“Iya, tunggu aja. Tuh lihat di sana. Wawan sudah ganti baju!” Camang menunjuk ke ujung gang. Terlihat Wawan berlari sambil mengenakan kaos tim sepak bola kami: Hunter FC. Kami bertujuh adalah pemain andalan dalam klub sepak bola di kampung kami. Kami selalu menjadi starting eleven setiap bertanding. Pelatih pasti kecewa jika satu saja dari kami tak bisa ikut bertanding. 
“Ya ampun, itu anak bodohnya! Masa dia pakai kaos tim. Kan nanti sore mau dipakai buat main.” Kirdun menggelengkan kepala.
“Yuk kita jalan!” Camang memberi intruksi. Kami pun melangkah menuju Kali Buaran yang menjadi satu-satunya kali tempat kami ngobak. Istilah kami untuk mandi di kali adalah ngobak. Entah bagaimana asal-usulnya dan siapa yang pertama kali menyebutnya, akupun tak tahu.  Ada juga yang memakai istilah nibla, untuk maksud yang sama : mandi di kali.
Sama seperti anak-anak kampung lainnya, kami pun sering ngobak di siang hari. Terutama saat semuanya sudah makan selepas pulang sekolah. Biasanya beberapa teman dari kampung lain bertemu di Kali yang sama. Kadang menambah seru mandi bersama, tapi tak jarang malah memicu perkelahian. 
Pernah satu ketika, salah seorang dari kampung seberang yang sedang mandi bersama, sengaja menendang Yanto yang baru saja mau membuka kaos. Bahayanya, saat itu wajah Yanto masih tertutup kaos, sehingga ia gelagapan di tengah Kali. Melihat teman kami hampir tenggelam, spontan beberapa orang dari kami menolong Yanto. Sedangkan yang lainnya langsung meninju anak yang tadi menendang teman kami. 
Melihat temannya ditinju oleh temanku, sekawanan anak dari kampung lain itupun menyerbu. Jika sudah begitu suasananya, akhirnya kegiatan mandi di kali berganti dengan saling tinju, saling tendang, saling menyeburkan lawan. Pertarungan sulit dihentikan hingga salah satu dari kami atau dari mereka, kabur menyelamatkan diri. 
Perkelahian seperti itu sering terjadi. Kelompok yang kabur saat perkelahian, biasanya tak akan pernah lagi berani mandi di Kali ini. Mungkin mereka mencari Kali lain di kampung lain pula. Kalau sudah begitu, jadilah Kali ini menjadi spesial buat kami, yang selalu menang dalam berbagai perkelahian. 
“Anak mana, tuh?” Tanya Teguh kepadaku. Sebelum kami sampai beberapa meter menuju Kali, terlihat ada sekelompok anak-anak dari kampung lain sedang mandi di sisi lain Kali. 
“Tak taulah. Mungkin anak SD dari Kampung Jembatan.” Tebakku.
“Kalau rese, kita usir aja!” Balas Teguh. Ia memang paling berani dalam meneror lawan.
“Biarin aja, lah. Nanti sore kita kan mau tanding. Kalau kita baku pukul sama mereka, kalau nanti kita cidera gimana? Bisa batal perjuangan kita mencapai juara.” Camang mengingatkan Teguh.
“Siapa yang mau ngajak berantem?” balas Teguh sambil memonyongkan mulutnya.
“Aku bukannya menuduh, tapi mengingatkan agar jangan sampai kita berkelahi dengan mereka.” Jawab Camang.
“Kalau tak mau menuduh, diamlah!” Teguh membalas dengan tegas.
“Kamu kalau dibilangin suka ngeyel! Dasar keras kepala!” bentak Camang mendekati Teguh yang berjalan di depannya. Aku yang berjalan di sebelah teguh langsung berdiri di antara mereka berdua, mencoba melerai perselisihan.
Pertemanan kami bukan tanpa perselisihan. Ada saja hal-hal sepele, seperti tadi misalnya-  yang memicu perkelahian antar teman. Biasanya Camang memang sering berkelahi melawan Teguh. Teguh paling berani melawan Wawan. Wawan hanya berani bertarung melawan Yatna. Yatna cuma takut melawanku. Aku selalu kalah berkelahi dengan Kirdun. Kirdun sendiri jarang menang jika bergelut dengan Yanto.  Tetapi meskipun kami sering berkelahi, biasanya bisa langsung baikan lagi, jika berada dalam satu tim sepakbola. Sepak bola membuat kami lupa dengan pertengkaran di antara kami. Apalagi jika tim kami mendapatkan kemenangan, seakan-akan kami tak pernah bertengkar dan selalu hidup damai selamanya.
Byurrrr!
Kami sudah terjun ke Kali yang kedalamannya setinggi leherku. Nikmatnya terombang-ambing dalam lipatan arus. 
“Cari koin, yuk!” ajak Yanto. Ia selalu saja mengajak kami berlomba mendapatkan recehan. Biasanya ia membawa banyak recehan untuk dicemplungkan ke kali dan kami semua memburunya. Yang mendapatkan recehan itu, berhak memilikinya.
Meskipun menarik, tetapi permainan itu harus ditebus dengan mata merah karena terlalu sering memaksakan diri melek di dalam air. Tapi selalu tak ada yang bisa menolak karena yang dibuang Yanto sangat berarti buat uang jajan kami.
Plunggg…. Satu koin jigoan (Rp.25) dilemparkan untuk permulaan. 
“Ayo…. Ayo… sebelah situ…. Sebelah situ!!!” seperti itulah teriakan yang sering diulang-ulang oleh Yanto. Ia memang terbilang anak paling kaya di antara kami. Bapaknya polisi berpangkat. Di kampung kami, cuma dia yang punya Video Player. Dan kami sering nonton bersama. Film Lion Man, Megaloman, dan Voltus V adalah idola kami bersama.  
“Duh, jangan nendang dong!” teriak Kirdun entah buat siapa. Karena dalam suasana perebutan uang recehan, sulit mengetahui siapa menendang siapa, atau siapa menyikut siapa. Bahkan siapa menjambak siapa pun tak mudah ditelusuri, kecuali oleh Yanto yang menjadi juri dan sponsor utama. Tetapi ia tak pernah mau memberitahukan jika ada yang kesal karena kena tendang. 
“udah…. cuma kena tendang dikit aja…. Nih, buru lagi!” Yanto kembali membuang 3 recehan sekaligus. Kami yang jarang dikasih uang jajan, segera melupakan siapa yang tadi menendang atau siapa tadi yang kena tendangan. 
“Sip dapaaat!!!” teriak Yatna.
“Aku juga, lumayan… Captun!” teriakku
“Yach…. Gotun!” teriak Kirdun yang mendapatkan koin ketiga. Gotun itu adalah sebutan untuk uang 5 Rupiah. Pecahan terkecil yang ada saat itu. Sedangkan Captun adalah sebutan untuk pecahan 10 Rupiah.
“Nih, lagi…. Lima koin! Teriak Yanto. Kamipun terhipnotis dan siap berburu.
Aku berusaha langsung menangkap koin yang baru saja tenggelam. Sebuah tangan mendahuluiku, tapi hanya menyentuh koin itu dengan punggung tangannya. Benturan itu membuat koin bergeser agak menjauh. Aku coba beralih mencari koin lainnya. Tapi terlambat! Beberapa detik, koin itu sudah ada dalam genggaman temanku yang lain.
“Aku dapat!” teriak Camang.
“Sip!” Teguh berhasil merebut koin di depanku.
“Yaah…. Gotun lagi!” teriak Kirdun.
“Horeee!!!” Yatna memamerkan koin 50 Rupiah yang didapatkannya. Itulah koin yang kuburu tapi tak berhasil kudapatkan. Pecahan Rp.50,- paling besar nilainya bagi anak kampung seperti kami. 
“Ayo, lagi! Aku baru dapat sekali nih…” Wawan akhirnya berhasil juga mendapatkan perburuan koin.
“Baiklah.” Yanto menghitung sisa koin dalam genggamannya. 1, 2, 3…… Delapan! Gimana kalau aku sebar semuanya sekaligus?!” tanyanya kepada kami.
“Oke, siap aja!” seru kami bersama.
“Aku boleh ikut?” Tanya seorang anak yang berdiri di sebelah Yanto.
“Jangan! Kamu anak mana?” Tanya Teguh.
“Aku anak kampung Teratai juga. Rumahku dekat tukang gado-gado.” Jawabnya.
“Ya sudah, biarkan saja dia ikut bergabung. Kan masih satu kampung sama kita!” Yanto tak mau berlama-lama menebar koinnya. Anak laki-laki itupun langsung loncat dan bergabung bersama kami.
“Oke, siap-siap ya! Oh ya, kamu siapa namanya? Kamu bisa berenang, kan?” Tanya Yanto kepada anak lelaki yang baru bergabung di antara kami.
“Nama saya Agus. Saya udah biasa berenang di sini.” Jawabnya.
“Baiklah kalau begitu, niih… serbuuuuu!!!” Yantu melemparkan semua koinnya. Kami semua memperhatikan arah di mana sekelompok koin itu tercebur dan langsung berlomba-lomba memburu koin yang amat berharga bagi kami.
Satu koin gagal kudapatkan, kucoba yang lain. Gagal lagi. Kupikir, dengan 8 koin, pasti aku akan mendapatkan dua atau tiga di antaranya. Tapi ternyata satupun belum berada dalam genggamanku. Teman-temankupun tak kehabisan napas untuk berburu. Mereka makin semangat, apalagi dengan adanya tambahan orang baru. Pasti semakin mempersulit kemungkinan untuk berhasil.
Tetapi tiba-tiba aku teringat nama anak itu…. Agus….
“Agus?” pikirku masih di dalam air….
“Agus?” ucapku ketika mengambil napas sebentar… 
“Oh…. Jangan-jangan….” Pikirku. Dan akupun bergegas ke atas, menyudahi perburuanku. Kuperhatikan Yanto yang tak berhenti berteriak menyemangati teman-teman dalam berburu koin.
“Kenapa? Tanya Yanto menoleh kepadaku. “Koq, nyerah?”
“Eh, To, tadi kamu lihat si Agus datang dari arah mana?” tanyaku.
“Tak tau, tiba-tiba sudah ada di sebelahku. Persis kayak kamu gitu.” Katanya sambil tetap kembali berteriak.
“Kamu ingat nggak, tadi dia bilang rumahnya dekat tukang gado-gado di kampung kita?” tanyaku memastikan apa yang aku pikirkan.
Yantopun berhenti berteriak. “Iya, tadi ia bilang begitu. Tapi….”
“Jangan-jangan dia datang dari arah rel kereta itu?” tunjukku ke arah rel kereta api yang berada beberapa meter di sebelah utara Kali ini. 
“Ya ampun!!!” Yanto dikejutkan oleh ingatannya sendiri. “Jangan-jangan….” 
“Ya itu, maksudku. Jangan-jangan… dia si Agus yang pernah mati di Kali ini. Terus terang aja, waktu melihat dia, koq sepertinya aku pernah kenal ya. Tapi lupa.” Terangku.
“Wah, gawat!” Yanto langsung mengemasi pakaiannya. 
“Wooi, teman-temaaaan! Ayo kita pulang!!!” teriakku kepada semua temanku yang masih berupaya memburu koin.
“Kenapa pulang? Aku belum dapat lagi!” bantah Wawan. 
“Selama itu kamu tak dapat juga?” tanyaku. 
Yatna, Kirdun, Camang, Teguh, terlihat muncul ke permukaan. Wajah mereka tak ceria.
“Dapat? Tanyaku kepada mereka semua.” Sementara Yanto hanya diam sambil merapatkan tubuhnya denganku. 
“Tidak! Kamu dapat, Guh?” Yatna menjawab dan sekaligus bertanya kepada Teguh. Begitupun teman-temanku yang lain. Mereka saling menduga salah satu di antara mereka pasti mendapatkan 1 dari 8 koin itu. Tapi ternyata tidak ada satupun yang berhasil menggenggamnya.
“Lho, mana si Agus?” Tanya Kirdun.
“Koq tak ada???” jawab Teguh.
“Nah, itu!” Teriakku. “Itu, yang tadi itu, si Agus yang tinggal di sebelah tukang gado-gado. Yang dulu mati di bawah rel kereta itu. Ingat nggak? Yuk kita pulang!!!” teriakku sambil bergeser menjauhi tepi Kali. Badanku makin merinding saja.
“Hah? Kabooooooorrrrr!!!!” teriak Camang yang komandonya langsung dilaksanakan oleh kami semua. Kami lari lintang-pukang meninggalkan Kali itu. Beberapa masih bertelanjang dada. Lari, lari, dan lari…. Itu saja yang kami pikirkan.
*****
Itulah kenapa kami menyebut Kali Buaran itu menjadi Kali Agus. Setahun ke belakang, dari waktu kami bertemu Agus saat berburu koin, Agus mandi di Kali itu. Ia memang terkenal paling jago terjun ke Kali dari rel kereta. Pada sore yang menjadi hari terakhir baginya, ia terjun dengan iringan tepukan tangan teman-temannya. Namun ketika Agus terjun, tiba-tiba ada pusaran air tepat di bawahnya. Agus pun tenggelam dan tak ditemukan hingga berbulan-bulan lamanya. Sejak itu, tak ada lagi yang berani mandi di dekat rel kereta. Boleh jadi karena menakutkan dua hal. Yang pertama takut ada pusaran air yang kadang muncul tiba-tiba. Dan kedua adalah -seperti yang kami alami-, bertemu Agus yang mati di Kali ini.
Keretaku berhenti entah di stasiun mana. Ingatanku juga berhenti bercerita tentang Kali yang mengesankan pada masa kecilku. 
cerita lama
 
  • 25/11/2013