Ini Uang Siapa

 

Jika kamu menemukan uang di jalan atau saat sedang bekerja, atau menemukan smartphone saat baru duduk di taksi, apa yang kamu pikirkan? Apakah uang atau smartphone tersebut kamu anggap sebagai rezeki yang datang dari langit untukmu? apakah kamu akan biarkan? Mengumumkan di media sosialmu agar pemiliknya dapat menemukannya kembali? Atau, mungkin kamu malah bimbang harus bagaimana. Begitulah kalau kita ada dalam situasi seperti itu. 

Saat berjalan kaki menuju Cibeo, Baduy Dalam aku melihat di beberapa pohon terselip uang. Ada pecahan seribuan, limaribuan, dan di atas itu. Sempat terpikir, apakah uang-uang itu merupakan sesaji untuk dewa pohon atau sang penguasa hutan. Pikiran seperti itu muncul karena dipengaruhi oleh pengalaman di beberapa tempat di Nusantara ini, di mana ada semacam tradisi ritual penduduk setempat dalam bentuk memberi sesaji sesuai dengan kepercayaannya.

Ternyata pikiranku salah. Sebaiknya memang jangan menyamaratakan kesimpulan pengalaman di satu tempat dengan tempat lain. Indonesia ini beragam. Ya, orangnya, sukunya, agama dan keimanannya, ritual dan adat istiadatnya, bahasa dan budayanya. Amat beragam. Kalau kutarik garis di peta dari timur ke barat, dari Merauke sampai Sabang, banyak sekali coretan akar ke utara dan selatan, yang kubuat di setiap garis yang melintasi pulau besar dan kecil. Itulah Nusantara. 

Ayah Aja -warga Cibeo yang menjemputku di Danau- menjelaskan, uang yang terselip di pohon biasanya ditemukan oleh warga Baduy yang sedang memapas rumput atau warga Baduy Dalam yang sedang lewat. Merekalah yang menyelipkan uang-uang itu di pohon. Mereka tak akan mau mengambil uang temuan. Pamali, katanya. Mereka takut kena malapetaka jika mengambil sesuatu yang bukan miliknya. 

Itulah kejujuran warga Baduy Dalam yang kudengar langsung dari penjelasan Ayah Aja. Aku langsung terbayang (((flashback))) saat masih kecil pernah nemu uang di jalan dan aku pakai buat jajan. Hm, aku tak melakukan yang sepantasnya dilakukan. Mungkin aku contoh orang yang tak mendapatkan petuah orang tua tentang bagaimana jika menemukan uang di jalan. Atau mungkin saat dalam kondisi begitu, aku menjustifikasi kemiskinanku sehingga merasa berhak atas uang itu. Aku menganggap itu rezeki yang turun dari langit untukku sebab Tuhan dan alam semesta yang diciptakan-Nya tentu tahu kebutuhanku. Ah, manusia memang pandai mencari alasan untuk membenarkan kekeliruannya. 

Lalu teringat berita di media tentang kejahatan korupsi yang nyaris abadi di negeri ini. Sebuah kejahatan yang tak mengenal agama, suku, parpol, komplotan, gank, dan strata ekonomi. Mungkin korupsi terjadi karena pelakunya taknpernah kehabisan alasan dan dalil untuk menghalalkan kejahatannya. Sadar atau terpaksa, korupsi terjadi karena merasa tak bersalah saat mengambil apapun yang bukan haknya. 

Belajar dari warga Baduy Dalam tentang pantangan mereka sehingga menyelipkan uang temuan di pohon, aku berkhayal, andai politikus dan pejabat di negeri ini sejujur orang Baduy, negara ini akan bebas korupsi. Mungkin mengambil hikmah dari moralitas budaya bisa lebih “ngena” ketika dalil agama tak membuat mereka merasa bersalah. 

Postingan ini juga tersedia di IG @mataharitimoer

  • 02/01/2018