Guru Berinternet dan Guru Ndeso

Sejauhmana perkembangan teknologi internet memberikan kemuliaan terhadap peran guru? Apakah dengan mampu mengajarkan bermedia-sosial kita sudah merasa lebih mulia ketimbang guru-guru di pelosok Nusantara yang tak terjangkau teknologi internet?

Tulisan ini dipicu oleh interaksi teman di facebook. Dipicu beberapa komentar atas status temanku yang juga seorang guru. Bahkan kini ia lebih populer ketimbang saat pertamakali kukenal 2 tahun lalu. Perkembangan popularitasnya kupikir wajar saja terjadi. Sebuah proses alamiah karena ia memang rajin berinteraksi dengan jejaring sosial dan komunitas yang digelutinya. Popularitas merupakan hasil dari geliatnya tersebut. Ini harus kuinsyafi sehingga tetap menghormatinya sebagai teman.

Kadang kita lupa bahwa popularitas, selain meluaskan jangkauan kebaikan, juga bisa menjerembabkan kita dalam kelupaan. Kita merasa lebih baik dari pada orang lain yang tak sepopular diri kita. Sebagai pegiat internet kadang kita merasa lebih smart, lebih cepat, dan boleh jadi merasa lebih “eksis” ketimbang mereka yang tak terbiasa berinternet. Padahal semestinya kita tak pantas berpikiran demikian. Kehalusan budi semestinya menjadi perisai dalam mengarungi bahtera popularitas sehingga kita tak mudah terempas badai, terhanyut pusaran, dan mungkin tenggelam dalam karam yang memilukan.

Tulisan senada yang lebih menjelaskan paragraf di atas, dapat dibaca pada Blogger yang Terjebak.

Sering kali kita terjebak oleh khayalan, prasangka, dan berbagai hasrat yang hanya membuat kita “sepertinya terkenal”. Makin naif lagi jika kita tak menyadari dan tak mengubah sikap “seolah-olah terkenal” itu, yang bagi blogger lainnya tampak menyebalkan. Teman, sadarlah bahwa popularitas itu belum tentu membuat kita lebih baik. Belum tentu membuat kita lebih dewasa dalam menyikapi ragam celah kehidupan.

Sebenarnya keterkenalan, entah mau disebut “eksis” atau pun “narsis” tak perlu kita permasalahkan. Biarkan saja teman kita merasa lebih terkenal dan bahkan merasa lebih mulia. Tokh, ia tak merugikan kita! Tapi lain urusannya jika keterkenalannya dikaitkan dengan peran sebagai guru apalagi sampai membandingkan antara guru yang berinternet dengan yang tak-berinternet. Menurutku, itulah yang membuat popularitas kita menjadi tak lagi menunjukkan keluhuran budi pekerti.

Menurutku guru yang mulia, kehormatannya tak dibuat-buat. Murid dan masyarakat dapat menilai keluhuran budi seorang guru, tanpa teknologi sekalipun. Lihat saja di pelosok negeri ini. Banyak guru yang tak mengenal internet sama sekali. Tetapi kemuliaannya tetap dihormati oleh murid dan masyarakat sekitarnya.

Teknologi memang membantu kita dalam memperluas jangkauan kebaikan. itu adalah kebaikan yang memang harus diaplikasikan oleh guru, walau tidak harus kita paksakan agar merata. Mereka yang mengajar dalam keterbatasan teknologi, mulia dengan apa yang mereka abdikan. Mereka yang menerapkan teknologi, mulia dalam lingkungannya pula. tak ada yang pantas merasa menjadi lebih baik antara satu dengan lainnya. Apalagi merasa jangkauan lebih mendunia hanya lantaran bisa internet. Dalam konteks kemuliaan dan keluhuran budi seorang guru, jangkauan mendunia –meskipun terhambat keragaman bahasa– bukanlah ukuran yang membuatnya menjadi lebih baik ketimbang “guru ndeso”.

Menjadi guru yang terkenal di era social media tak ada salahnya. Lakukan saja sepanjang kita tak merasa lebih hebat dari pada sesama pemeran dalam dunia pendidikan. Lagi pula, sudah biasa koq dalam dunia ini, hanya sedikit yang tercatat sebagai orang yang terkenal dan amat banyak mereka yang sebenarnya berjasa tetapi namanya tak tersebutkan. Boleh jadi tak tersebutkan karena mereka tak dikenal dalam era social media, atau boleh jadi juga karena mereka yang lebih banyak jasanya itu hanya bekerja saja dan tidak memikirkan popularitas.

 

  • 13/12/2012