Golput Cuma Kambing Hitam

Dalam iklim politik penuh kecurigaan yang akan tumbuh hanyalah ketakutan. Itu yang terjadi di Indonesia saat ini (Pemilu 2019). Kedua kubu, baik dari petahana Jokowi (01) maupun dari kubu oposisi Prabowo (02) sama-sama membangun budaya politik yang penuh curiga dan ketakutan terhadap Golongan Putih (Golput).

Kita lihat sendiri seruan untuk tidak Golput itu kian menjadi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan kembali fatwa yang mereka keluarkan pada pemilu 2014 bahwa Golput adalah haram. Wiranto pun demikian, sampai menakuti publik dengan ancaman UU Pemilu, UU ITE, dan KUHP. “Ancaman” tersebut kuduga keluar dari pikiran yang tidak tenang alias takut kalah. Takut karena apa? Karena Golput?

Di kubu tetangga pun sama takutnya. Mereka mengajak semua umat untuk mencoblos nomor 02 dan jangan tidak berangkat ke TPS. Sebab mereka memberikan doktrin –dengan mengatasnamakan IBHRS, Poros Mekkah–, bahwa Prabowo-Sandi sulit dikalahkan, kecuali dicurangi.

Nah! kita kejeblos pada kata CURANG. Sebenarnya satu kata itulah biang ketakutan kedua belah pihak. Narasi yang sampai ke rakyat jelantah sama saja, “Jangan sampai Golput, sebab kalau tidak nyoblos, nanti kertas suara kita dicoblos sama kubu lain. Mereka biangnya curang!” Itu yang kudapat dari dua orang sopir taksi. Narasinya sama namun pilihannya berbeda. Yang satu memilih 01 dan menganggap kalau kita Golput maka akan dicurangi oleh kubu 02. Begitupun dengan sopir kedua yang memilih 02, memintaku tidak golput agar surat suaraku tak dicuri oleh kubu 01. Begitupun temanku lainnya.

Begitulah yang dibangun oleh para politikus ke grassroot bukannya budaya politik yang respectable, positif dan optimis melainkan politik yang penuh ketakutan dan kecurigaan terhadap kubu lawan.

Sikap politik penuh curiga dan takut inilah yang menurutku sampai memicu seorang Romo Magnis menulis Golput itu ibarat benalu. Semoga saja beliau mengoreksi kekeliruannya dalam memandang Golput.

Golput itu tak perlu ditakuti. Aku sudah menulis soal ini untuk Pemilu 2014 saat Jokowi-Prabowo Jilid 1: Jangan Takut Golput. Sebab yang sebenarnya mereka takutkan adalah kecurangan kubu lawan. Kenapa Golput kalian kambinghitamkan?


Jika Anda masih takut juga PEMILU gagal, coba baca lagi sejarah PEMILU di Indonesia, apakah pernah GOLPUT menggagalkan PEMILU? Justru yang sering merecoki pemilu adalah para kontestan sendiri yang berlaku curang untuk mencapai kemenangan. Jadi, saranku, jangan takut terhadap GOLPUT. Lebih baik awasi dan bertindak tegas kepada para peserta PEMILU yang melanggar aturan kampanye. Itu!
– MT, pada Jangan Takut Golput

Aku jadi teringat Nagabumi, novel Seno Gumira Ajidarma. Di situ ia menggambarkan bagaimana pendekar golongan putih bisa saja menjadi incaran pendekar golongan hitam yang bersujud pada kekuasaan. Intrik politik hingga agama diciptakan demi mempertahankan maupun merebut kekuasaan. Sedikit saja dari Nagabumi yang menurutku nyaris seperti drama politik kiwari. Sementara itu rakyat dijejali ketakutan demi ketakutan.

Jujur deh. Ketakutan itu biasanya bermula dari kecurigaan kamu terhadap kubu lawan. Kamu curiga bahwa kubu lawan itu hanya bisa menang kalau curang. Begitupun mereka, menganggap kubumu pasti curang kalau menang. Ini norak banget, boss. Bagaimana bisa tumbuh kesadaran dan keberanian di kalangan rakyat terhadap sebaran berita bohong dan fitnah (termasuk hoaks) jika kalian sendiri takut dengan kecurigaan kalian.

https://www.instagram.com/p/Bt6JvwEgATh/?utm_source=ig_share_sheet&igshid=1gkq7h2upow7

Saat ini masing-masing kubu saling menuding kubu lawan penyebar hoaks, curang, menyebar fitnah, sandiwara, pencitraan, dan segala keburukan baik langsung, melalui media pesan maupun di media sosial. Kalian takut KALAH. Mental seperti ini adalah mentalitas penjudi kelas teri, yang masang tebakan dengan harapan menang banyak, dan jika ia kalah pasti menuduh bandarnya curang. Seperti inikah kubu pendukung Jokowi dan Prabowo? Ya! Seperti itu yang kulihat.

Ah, di debat-debat tak seperti itu? Ya memang, sebab rangkaian pemilu ini bukan cuma debat. Kamu lihat sendiri saja bagaimana kegelisahan tetanggamu yang membaca sebaran kabar di grup whatsapp yang tak sesuai dengan pilihan mereka. Khawatir dan takut jika melihat linimassa media sosial dipenuhi dengan ingar-bingar pendukung kubu lawannya. Lalu mencari-cari kesalahan dari foto atau video tersebut untuk diserang dengan harapan mereka kalah. Culun! Ya wajar, memang mentalitas berpolitik seperti itu yang dibangun oleh kedua kubu.

Melihat kondisi seperti ini, aku jadi enggan memilih. Mungkin 17 April 2019 aku akan memutuskan GOLPUT. Lebih baik aku melakukan kegiatan lain yang bermanfaat nyata buat anakku, ketimbang mendukung kedua calon penguasa yang mendidik rakyatnya dengan budaya politik penuh kecurigaan. Politik kebencian.

Kamu egois, Te! Cuma satu hari aja kamu berpartisipasi demi masa depan bangsa ini! Begitu nasehat temanku.

Berpartisipasi demi masa depan bangsa tak cuma saat pemilu saja. Aku bayar pajak dan sudah membuat laporan pajak di awalbl seruan, sementara mereka yang anggota dewan saja masih minta dimaklumi sebab belum melaporkan kekayaan. Aku tak pernah macam-macam terhadap pemerintah. Bahkan tak jarang, aku membantu mereka dalam kegiatan tertentu. Lihat juga konten yang kuunggah di IG dan youtube-ku. Mana ada yang mengancam masa depan bangsa? Lalu apakah jika aku tak memilih (golput) jadi batal sebagai WNI? Tidak! Aku tetap rakyat jelantah di negeri yang dikuasai oleh kepentingan politikus dan pengusaha yang tak gemar berseteru.

Demi apa sebenarnya perseteruan itu? Demi kekuasaan belaka? Tidak. Tentu ada kepentingan lain yang bisa diamankan kalau berkuasa atau dekat dengan kekuasaan. Konflik politik kerap terjadi bukan demi apa yang tersiar di permukaan, tetapi karena kepentingan lain yang disembunyikan.

Sudahlah. Yang memilih, selamat memilih. Yang Golput gak perlu norak juga, sih. Jalani aja keyakinan masing-masing. Lalu 18 April 2019 kita akan kembali seperti biasa. Yang susah tetap susah hidupnya, yang korup tetap korupsi, yang nyabu tetap nyabu, yang transaksi jabatan tetap demikian adanya. Penjilat tetap menjilat. Lalu rakyat yang merasa berjihad memilih pemimpinnya? Ya, tetap menjadi rakyat yang bingung karena harga-harga tetap mahal, listrik naik, BBM naik, dan segala kebutuhan hidup makin hari semakin sulit dipenuhi.

Ah, kamu pesimis banget, Te!

Bukan pesimis. Itu adalah prediksi atas nasib kalian yang dididik berpolitik dengan penuh ketakutan. Itu saja. Kalau mau nggak begitu, ya dari sekarang ubah mindset! Bilang ke elit Partaimu: Jangan salahkan Golput, jangan takut kalah, dan hormati yang menang. Berani nggak kamu kritik pemimpinmu?

  • 28/03/2019