Film Pantjasila dan Walking Dead

“Kita hendak mendirikan satu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya tetapi semua buat semua. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi…

Prinsip nomor empat sekarang saya usulkan. Saya di dalam tiga hari ini belum mendengarkan prinsip itu yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam indonesia merdeka… Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalnya merajalela? Apa kalian semua rakyat sejahtera yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku ibu pratiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? Mana yang kita pilih saudara-saudara?… Saya usulkan, kalo kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup yakni politik, ekonomi, demokrasi, yang mempu mendatangkan kesejahteraan sosial…” ~ Sukarno, saat mengurai prinsip keempat dalam dasar negara Indonesia Merdeka, pada sidang BPUPK(I), 1 Juni 1945.

Jika mengharapkan drama, konflik, konspirasi yang rumit, dan klimaks yang mengejutkan dalam sebuah film, Anda tak akan mendapatkannya di film Pantjasila. Film berdurasi hampir 80 menit ini memiliki konsep dramatisasi yang sangat tak lazim, Inkonvensional. Para penggila film India, drama Korea, dan film khas Hollywood, boleh jadi merasa bosan menonton sepertiga bagian awal, film buatan Tino Saroengallo dan Tyo Pakusadewo ini. Orang muda yang kalo ditanya jawabnya “seru aja!”, akan mendapatkan keseruan lain yang dapat mengubah mereka menjadi lebih seru lagi.

Film ini hanya berisi pidato. Diawali dengan pikiran utama pidato beberapa tokoh bangsa, seperti Dr.Soekiman, Ki Bagus Hadikusumo, Muhamad Yamin, Abikoesno Tjokrosuyoso, dan banyak lagi, yang berkesempatan bicara pada hari pertama dan kedua rapat BPUPK(I) ini. Setelah itu, layar sepenuhnya menampilkan pidato Sukarno di hari ketiga rapat tersebut yaitu pada 1 Juni 1945. Pidato doang? Ya, cuma pidato, bung! Dugaanku film ini cuma ingin merekonstruksi, menghidupkan konteks pidato penting Sukarno untuk menjawab pertanyaan bersama saat itu, “apa yang akan menjadi dasar negara Indonesia merdeka?”. 

Pidato Sukarno inilah yang menjadi nyawa film Pantjasila. Pidato inilah yang apabila disimak dengan baik, apabila kita ingin kembali mengaktualisasikan pesannya, dapat mengembalikan Indonesia dari kungkungan mayat-mayat hidup yang memperebutkan kekuasaan dan hasil bumi negeri seperti yang terjadi saat ini. Ya, aku menganggap negeri ini sudah terlalu lama dikuasai zombie seperti pada film Walking Dead. Mereka -monster menjijikkan- yang hanya mengincar kekuasaan dan melahap kekayaan negeri untuk disimpan di bungker-bungker berbau anyir dengan bendera partai beraneka-dusta. 

Melulu pidato? Ya, meskipun ada beberapa cuplikan yang muncul di sela-sela pidato Sukarno, yang kadang terasa mengganggu saat lagi asyik fokus menyimak apa yang disampaikan Sukarno. Sebagai usaha mengungkap ironi kekinian, cuplikan tersebut seperti ingin mengingatkan penonton tentang banyaknya zombie politik di era Indonesia Merdeka. Cuplikan realitas seolah mengingatkan bahwa kita seperti hidup dalam incaran para penyeru kebencian seperti yang digambarkan dalam Walking Dead. Meskipun tanpa footage itu sebenarnya kita sudah “ngeh” bagaimana serial Walking Dead diputar setiap hari dan berganti episode setiap lima tahun. 

Lalu di mana letak drama pada film ini, kalau di atas tadi aku menulis, film Pantjasila memiliki drama yang tak lazim? Aku merasakan terutama saat layar menampilkan beberapakali pencatatan pidato Sukarno dengan stenografi. Aku pernah mengalami fase mempelajari stenografi, kala muda dulu. Tayangan steno tersebut mampu melesapkanku dari ruang nobar dan aku merasa hadir, menyaksikan langsung Sukarno bicara di 1 Juni 1945. 

Apakah peran Tyo Pakusadewo memengaruhi “trans” tersebut? Mungkin, iya. Tetapi bukan cuma itu. Mungkin perpaduan antara Tyo, Sukarno, mata kamera, dan naskah pidato itulah yang membawaku ke sana. Kegelisahan, semangat juang, ironi dan harapan, menyatu dalam pemikiran Sukarno yang ditumpahkan kata per kata, satu persatu, runut, sistematis, menampar kebisuan, dan menusuk kesadaran. Dramatis. “Seru bingits!”kalau kata Alpiah, anak Kwitang yang baru lulus SMA kemarin. 

Apa yang menjadi tujuan pantjasila? Bukan, bukan tujuan pembuatan film Pantjasila, tetapi apa tujuan Pantjasila itu sendiri, yang dihidupkan kembali nyawanya oleh film ini.Tino, Tyo, dan semua kru film ini tentu punya persepsi masing-masing jika ditanya, apa sih tujuan pantjasila yang disampaikan Sukarno? 

Aku menyerap pidato Sukarno pada bagian sila ke-4 tentang kesejahteraan sosial sebagai tujuan dari pantjasila, tujuan dari dasar Indonesia merdeka. Untuk menyampaikan tujuan itu bahkan Bung Karno perlu waktu lebih panjang untuk menguraikan sila tersebut dibandingkan saat ia menyampaikan paparan sila-sila lainnya. Indonesia dalam ruh pantjasila versi Sukarno adalah negara yang berjuang sungguh-sumgguh untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Jika sebelum merdeka spirit perlawanan terhadap kolonialisme menjadi ruh pantjasila, maka saat merdeka, kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia adalah semangat utamanya. Tujuan pantjasila, tujuan negara ini dimerdekakan adalah sebagaimana kutipan yang membuka tulisan ini.

Tapi sayang, kita harus menerima kenyataan bahwa pantjasila telah mati di negeri ini. Sejak negara ini menjadi ajang perebutan kekuasaan politik, kala negara ini menjadi rebutan investor yang mengeksloitasi alam sekaligus rakyatnya, pantjasila bagaikan batu nisan retak.

Pantjasila sebenarnya nyawa bangsa ini. Paling tidak jika kita mau menyimak secara utuh apa yang disampaikan Sukarno langsung, blak-blakan, tanpa teks, yang dihidupkan kembali dalam film ini, aku berharap nyawa itu kembali lagi. Minimal di setiap diri kita, di setiap lingkungan kita hingga kita ikut berjuang menyawakan kembali bangsa ini dengan Pantjasila. 

Film ini sepantasnya ditonton semua orang, bukan buat golongan tertentu. Apalagi golongan partai politik yang mengagung-agungkan Sukarno dan anak-cucunya yang menyedihkan, sebab tak terlahir genius seperti bapaknya. Film ini mestinya dimodali oleh banyak perusahaan atau pengusaha agar bisa disetel dan ditonton semua orang di negeri ini tak tersisa satu pun.

  • 16/09/2016