Dongeng Politik

Pagi di Negeri Purbadewa. Tepatnya di Cafe Mang Papay.

“Kadang manusia suka lepas kontrol!” seloroh mang Odon, sambil menyandarkan tubuhnya yang boros ke sandaran kursi. Di tangan kanannya terlipat sebuah koran harian Media Purbadewa yang baru selesai dilahapnya buat breakfast pagi ini. Begitulah gayanya setiap pagi, sebagai masyarakat informasi, tidak mau ketinggalan kereta… eh berita. Kalau kita tidak menyimak informasi, bagaimana bisa membuat prediksi, begitu katanya.

“Kok, diam saja? Sariawan, ya?” tiba-tiba mang Papay membuyarkan bengongan mang Odon.

“Sariawan?! Saya kan sedang mikir!”

“Apa yang dipikirkan, mang?”

“Ini lho, aku tadi bilang, manusia suka lepas control. Misalnya saja di koran ini, hampir semua halaman isinya tentang manusia yang lepas kontrol. Ada yang sampai memaki-maki orang di tengah khalayak ramai, ada yang menekan hak asasi orang lain, memperkosa, membunuh, makan bangkai, nyogok, ngancam, dan macam-macamlah!” koran pagi itu lantas dilemparkan ke atas meja.

“Eit! Kok kamu jadi lepas kontrol juga sih?” Raut wajah mang Odon langsung merah padam karena dibuat malu sendiri dengan ucapan mang Papay. “Don, yang namanya mengendalikan diri itu memang sulit. Karena kita hidup di tengah situasi yang senantiasa Preview Changesmelonggarkan baut-baut pengendalian kita, sehingga mesin pengendalian diri kita itu ambrol.” Mang Papay melanjutkan dengan bahasa yang dikerenkan, maksudnya biar dibilang mengikuti bahasa pakar, gitu.

“Betul juga, sih apa katamu. Apalagi kalau kita perhatikan orang-orang yang sering main politik-politikan, banyak yang lepas kendali sehingga apa yang dia lakukan secara tak disadarinya menurunkan citra dirinya di mata masyarakat.”

“Sebagian masyarakat, mungkin lebih tepat!” koreksi mang Papay.

“Ya, deh.” Tumben mang Odon tidak seperti biasa, menimpali mang Papay. Apa takut dibilang lepas kendali? Ah sepertinya tidak juga. Tidak juga seperti biasanya. “Tapi coba deh kamu lihat!” tuh benar kan, mulai deh mang Odon berargumentasi sambil kembali menggelar halaman satu koran Media Purbadewa yang telah dilemparkannya tadi.

Mang Papay membaca headline koran tersebut, “….Raja Cemanibuana …. memaki para lawan politiknya…… Politisi pukul-pukulan di Dewan Perwalian Raja, Partai Tokek berubah warna, Tokek lainnya bikin partai baru…., Anggota DPR minta fasilitas mewah, Anak kecil bunuh diri karena malu ngutang biaya sekolah…., Penjual Agama Anu ngibulin Penganut Agamanya sendiri…, Oh, jadi ini yang bikin kamu kekenyangan pagi ini?” mang Papay mulai paham penyebab mikirnya mang Odon.

“Ya, Begitulah adanya. Aku rasa pemimpin di negeri ini kurang tepat mengambil sikap terhadap para lawan politiknya ataupun para kaum protes itu. Menurutku, kalau tidak setuju dengan kritikan orang lain, balaslah dengan argumentasi yang logis dan normal-normal saja. Jangan sampai mendiskreditkan mereka.” lanjut mang Odon.

“Itu kan menurut perasaan kamu. Seandainya kamu yang dikritik bagaimana?”

“Ya, tapi kan nggak perlu sampai menghina begitu, lah”

“Lho, bukankah para tukang protes itu pada dasarnya juga memaki sang raja?” bantah mang Papay. “Justru aku kurang setuju dengan sikap para politisi itu. Tidak pantas ngedumelin bangsa sendiri di tengah terpuruknya bangsa ini. Kalau ada yang dianggap kurang memuaskan, utarakan saja sesuai dengan jalur konstitusional. Begitu kan lebih normal, jadi rakyat tidak dibuat bingung untuk menentukan pilihan.”

“Wah, kamu ini sok bijak, Pay! Wajarlah mereka memprotes, karena itu kritik membangun. Lagi pula yang namanya tukang protes itu, kerjaannya yang memprotes.Yang namanya pedangdut ya nyanyi dangdut. Yang namanya politisi, ya pekerjaannya mempolitiki orang lain, bukan manut-manut…” sepertinya cengkrama mereka makin hangat.

“Kamu sendiri sok kritis! Memangnya yang namanya ngurus kerajaan itu tidak semrawut. Eeh, mereka kok bukannya bicara baik-baik yang lebih edukatif, malah cari-cari kesalahan pemerintah, lalu dipojokkan, lalu merasa dirinya lebih baik.” Makin panas saja pagi ini.

“Lho, ada apa nih, kok pake monyong-monyong segala?” Parikesit tiba dengan wajah keheranan melihat kedua teman cengkramanya bersitegang hingga melewati ambang kemonyongan.

“Eh, kamu, Par. Kebetulan nih ada topik hangat yang perlu didiskusikan.” Mang Papay mempersilahkan Parikesit duduk di sampingnya.

“Kopi hangat? Wah, kebetulan nih, mana? Sekalian saja dengan roti bakarnya, mang”

“Hush! Topik hangat, bukan kopi hangat!” mang Odon meralat. Tapi dia beranjak juga dari tempat duduknya menuju dapur untuk membuatkan kopi hangat. Sementara itu mang Papay menceritakan kembali apa yang dibicarakannya bersama mang Odon. Karena kalau saya ulang dari awal namanya mubadzir, makan tempat. Capek pula ngetiknya!

“Gimana menurut kamu, Par?” mang Odon meletakkan kopi hangat di meja samping Parikesit.

“Begini, lebih baik kita perbincangkan topik yang lain saja, bagaimana?” sepertinya Parikesit kurang tertarik dengan topik yang dibicarakan kedua temannya.

“Lho, kok gitu. Ini topik yang sedang hangat di negeri ini. Semua media massa mempublikasikannya. Masak kamu nggak mau tau sih!” mang Odon kecewa.

“Bukannya aku tidak mau tau, mang. Masalah seperti ini biasa terjadi di setiap kerajaan. Jadi tidak perlu direspon secara dramatis begitu. Ini adalah realitas normal sebuah bangsa yang sedang membangun demokrasi. Dari jaman homo erectus hingga hombreng  ereksi, selalu saja ada pihak berkuasa, pihak yang haus kekuasaan, dan pihak yang serakah dengan kekuasaan. Untuk mencapai apa yang mereka impikan, pastilah mereka mencari dukungan rakyat. Padahal yang namanya rakyat negeri kita ini, sebenarnya tidak pernah memikirkan politik. Rakyat kita tidak biasa dan tidak bisa main-mainan politik seperti mereka itu. Rakyat terlalu sibuk mencari makan dan bayar utang.”

“Walaupun bukan urusan kita, sebagai rakyat kita juga harus kritis. Karena sejak zaman Fir’aun masih lendir, rakyat selalu jadi korban kekuasaan!” mang Papay tidak puas.

“Kalau mamang tidak mau jadi korban, mamang harus pandai membaca situasi, lalu gunakan hak sebagai rakyat sesuai konstitusi. Kalau rakyat cerdas, maka akan merdeka dari segala pemanfaatan ataupun tekanan kekuasaan dan tipu daya politisi.”

“Setuju, tapi bukan berarti kita tak boleh mengkritisi sikap dan tingkah laku politik mereka, kan?!” mang Papay mulai mereda.

“Ya, sih. Tapi tidak perlu sampai monyong-monyong seperti tadi, he he he…” Parikesit tersenyum seperti anak kucing baru selesai nete.

 

  • 19/11/2012