Copas dari Grup Sebelah

Sering banget kita mendapatkan kabar yang dimulai dengan kalimat pembuka seperti judul tulisan ini. Biasanya tersebar dari grup ke grup di Whatsapp dan Telegram. Kabar seperti itu biasanya perlu diteliti kembali sebab banyak sekali hoax yang dimulai dengan kalimat pembuka seperti itu. Contohnya seperti skrinsutan di bawah ini,

contoh hoax dari “Grup Sebelah”

Kebetulan sebaran informasi di atas kuterima saat sedang berkunjung ke Manokwari. Langsung saja aku mengabarkan sebaran “Copas dari Grup Sebelah” itu ke saudaraku yang sejak bocah tinggal di sana. Ia meyakinkan padaku bahwa kabar tersebut bohong. Sebagai takmir masjid di kampungnya, ia menceritakan tentang toleransi beragama yang terjalin baik bertahun-tahun di Manokwari. Obrolanku semakin menarik dengan sajian sarapan pagi yang dimasak oleh istrinya yang mengenakan jilbab. 

“Jadi itu kabar bohong, saudaraku. Itu hoax!” ulang Sali Pelu.

Judul tulisan ini pakai kalimat “Copas dari Grup Sebelah” berarti perlu diteliti kembali dong! Ya, silakan saja. Awalnya aku menulis judul “Celoteh tentang Hoax” tapi koq rasanya flat banget. Jadi, kuubahlah dengan judul sedemikian rupa. 

Sebaran hoax semakin merajalela sampai Presiden Jokowi mengadakan Rapat Terbatas soal itu. Sepenting itukah hoax sampai “dirataskan” oleh orang-orang penting di negara yang kelas menengahnya sering merasa sok penting ini? 

Hoax juga melimpah saat pilkada disebabkan oleh beberapa hal. Yang utama adalah karena pengguna internet dan media sosial (netizen) kita masih belum terdidik dengan baik soal literasi digital. Lemahnya pemahaman mereka terhadap apa yang pantas dan apa yang tidak pantas disebar di media sosial, dimanfaatkan oleh para pembuat hoax untuk keuntungan mereka sendiri.

Sebab lainnya adalah, ya para pembuat hoax itu sendiri. Kita pun harus menelaah bahwa pembuat hoax itu belum tentu orang dari kubu para pendukung calon kepala daerah, melainkan pihak tertentu yang memancing di air keruh. Mereka ini pandai memanfaatkan momentum atau isu yang sedang berkembang, lalu menggiring netizen ke portal berita yang mereka buat. Dengan banyaknya netizen yang mengunjungi situsnya, tentu memberikan keuntungan iklan yang mereka pasang di situs mereka.

Sumber: Majalah Tempo 2-8 Januari 2017

Perhatikan saja beberapa situs yang diduga sebagai penyebar hoax atau berita yang tak terverifikasi, seperti post-metro.com, pojoksatu.id, mediankri.net, koranriau.net, bangsagaruda.com, nusanews.co dan sebagainya. Situs-situs tersebut umumnya memasang adsense (iklan) dari Google yang penghasilannya sangat dipengaruhi oleh kunjungan orang ke situsnya. (Seperti skrinsutan dari Tempo di atas). 

Itu adalah satu penyebab tersebarnya hoax, yaitu kepentingan para pencari keuntungan dari perseteruan politik. Hal lain adalah kepentingan politik para pencinta (lovers) dan pembenci (haters) yang secara alami sangat bersemangat dalam perseteruan. Sayangnya semangat tersebut masih dominan negatif. Mereka lebih suka menyebarkan hal-hal buruk tentang lawan politik, meskipun kemenangan calon kepala daerah yang mereka dukung -mereka sadari- tak menjamin kesejahteraan hidup mereka. Buat mereka punya semangat menyerang terhadap lawan, sudah cukup. Semangat negatif itulah yang mendasari kesadaran berpolitik netizen kita.  Menyedihkan memang, tetapi itulah kenyataannya dan itu kembali memperlihatkan kepada kita betapa netizen kita masih belum bijaksana dalam bermediasosial.

Dampak buruk dari keadaan seperti itu adalah banyak netizen yang baik-baik saja, jadi enggan bermedia sosial. Mereka enggan membuka lagi medsos sebab terlalu banyak sampah digital bertebaran. Ada temanku yang biasanya rajin ngetwit dan fesbukan, kini tutup akun lantaran semakin muak melihat perilaku bermediasosial lingkungan online-nya.

Untuk personal, paling tidak bagi yang muak dan butuh kedamaian, itu bisa jadi solusi. Solusi lain kupikir tak ada lagi selain itu, kecuali jika mau bertahan, melawan, dan melaporkan mereka yang sudah terlanjur hanyut dalam sebaran hoax dan fake news. 

“Mesti kuat hati, kayak ngadepin pecandu yang lagi mabok.” Samber Mpok Geboy.

Tentang tutup akun atau tidak, bisa dibaca pada tulisan Break Off Medsos.

Nah, di sinilah perlunya orang-orang yang “masih waras” melakukan counter terhadap penyebaran kebohongan dan kebencian di media sosial.  Jangan biarkan negeri ini (melalui media sosial) dikuasai oleh mereka yang hidupnya diliputi kebencian.

Setidaknya, lakukan dua hal ini:

1. Saring Sebelum Sharing.

Ketika mendapatkan tautan informasi yang judulnya menarik atau membuat penasaran di medsos maupun grup messenger, saring dulu sebelum ikut menyebarkannya kembali. Teliti dulu apakah berita itu ada di media yang terverifikasi oleh dewan pers atau tidak.  Jika ternyata media tersebut tak ada di dewan pers, kalau bukan blog yang dikelola secara bertanggungjawab oleh bloggernya,  berarti itu media asal-asalan yang tak patut dipercaya. Sudah tentu jika medianya saja tak dipercaya, isinya tak perlu kita baca, apalagi disebarkan. Bahkan jika perlu, ingat-ingat terhadap media sejenis itu untuk tidak tergerak meng-klik tautan yang diberikan teman-teman, sebab dengan klik tautannya, berarti kita telah memberikan keuntungan finansial untuk media tersebut. Iklan, bro, iklannya kan bejibun!

2. Think before Posting

Menyebarkan kebohongan di media sosial dapat mempermalukan kita sendiri. Misalnya ketika kita ikut-ikutan menyebarkan hoax atau ketika kita ikut membuat status penuh kebencian yang kadung dianggap perbuatan yang benar. Jika kekeliruan semakin dilakukan banyak orang, maka akan dianggap lazim. Selanjutnya bahkan dianggap sebagai kebenaran.

Seperti apa sih Think before Posting itu? Ngukurnya gampang bagi yang masih punya rasa malu. Boleh jadi saat menuliskannya kita tak sadari itu bisa memalukan atau nggak. Ingatlah ketika kita mungkin pernah membuat status di beberapa bulan atau tahun yang lalu, kalau kita baca kembali, kadang kita merasa malu, kenapa bisa membuat status/gambar yang membuat kita seperti orang bodoh dan keras kepala. Ya, paling tidak rasa malu adalah cara paling mudah agar kita dapat mikir sebelum melakukan sesuatu di media sosial. 

“Nyesel itu belakangan, kalo duluan itu namanya panjer.” sentak Bang Namun.

Selain dua kunci internet sehat di atas, ada baiknya mengenali ciri-ciri sebaran hoax .

  1. Biasanya hoax dibuat dengan judul yang menarik, provokatif, menyudutkan pihak lain, bombastis, dan yang memancing rasa penasaran pembaca.
  2. Penyebaran hoax biasanya melalui grup whatsapp/telegram, facebook, twitter, path, IG, email, mailing list, forum, dan blog berwajah seolah-olah media online. Penyebaran melalui grup whatsapp, Facebook, dan Twitter adalah yang lebih sering terjadi sebab kebiasaan orang langsung mempercayai tautan informasi yang tersebar di situ dan paling gampang menyebarkannya kembali. Apalagi dengan iming-iming pahala. 
  3. Waspadai jika sebuah informasi dimulai dengan kata-kata “copas dari grup sebelah”, “dari grup sebelah, benarkah ini?”, “sebarkan”, “klik like”, “jangan berhenti di kamu saja!” dan sebagainya. Umumnya informasi yang disertai dengan kata-kata seperti itu lebih sering berupa hoax atau patut diragukan keabsahannya.
  4. Biasanya kabar bohong (hoax) dan fake news (berita rekayasa) tidak mencantumkan sumber referensi. Bilamana ada link, biasanya menuju ke media yang tidak terverifikasi di dewan pers ataupun blog yang penulisnya tak cukup kredibel. Penulis yang bertanggungjawab biasanya tertib menerakan sumber referensi atas apa yang ia kutip ataupun gambar yang ia sertakan.
  5. Jangan terlalu sensitif terhadap isu yang membawa-bawa SARA. Isu SARA biasanya paling cepat memancing emosi masyarakat sehingga sering dimanfaatkan oleh para pengincar kepentingan atas terjadinya kericuhan dan kerusuhan. Ketika mendapatkan info mengandung SARA, sebaiknya mencari informasi pembanding dari tokoh yang dapat dipercaya, misalnya tokoh agama, tokoh budayawan yang terpercaya dalam menjunjung toleransi dan kebhinnekaan Indonesia.
  6. Terakhir, cari dan bergabunglah dalam grup-grup anti hoax. Biasanya di sana terjadi diskusi tentang hoax. Terlibatlah agar semakin banyak tahu soal seluk-beluk hoax.

Ini satu contoh jika kamu kepingin menelusuri berapa banyak uang yang bisa didapat oleh situs yang turut menyebarkan hoax dan fake news.

Atas kegelisahan Jokowi, pemerintah berencana membentuk BCN (Bunga Citra Nestari, eh bukan deng. Badan Cyber Nasional).

BCN bertugas memilih berita dan konten palsu, radikalisme, intoleran, SARA, dan melanggar hukum yang bisa menyebar di masyarakat. It’s okay, tetapi benarkah sampai memantau interaksi di media chatting? Terkesan lebay, sih. Menakutkan, bahkan. 

“Selama legitimate sih nggak masalah  tapi kalau sifatnya mass surveilance, itu berpotensi melanggar privasi orang lain.” celetuk Mang Odon.


Menurut temanku, masalah penyebaran hoax tak terjadi di kalangan menengah ke bawah, melainkan terjadi di kalangan menengah ke atas yang umumnya berpendidikan tinggi. Kalangan ini sering tersulut, dengang asumsi sharing is caring.

Menurutku yang namanya kebohongan tidak mengenal kelas masyakarat. Selama pengguna internet dan media sosial (netizen) kita masih belum baik literasi digitalnya, itu akan terjadi terus. Jadi mau kelas bawah, menengah, maupun atas, sama-sama memungkinkan bertindak bodoh dengan menyebarkan hoax dan ujaran kebencian di media sosial. Di sinilah kita bisa menemukan bahwa pendidikan tinggi tak menjamin netizen berbudi pekerti luhur.

Klik like! Jangan berhenti di kamu saja, sebarkan. Semoga dapat pahala! Amin… 😀

  • 06/01/2017