Ceraikan Istri

Dalam perjalanan dari Baranangsiang Bogor menuju Anyer, karena aku terlambat, bis jurusan Merak meninggalkanku sejam sebelumnya. Terpaksa ngeteng deh ke Kampung Rambutan dulu. Tapi tak ada yang sia-sia bagi nasib. Dalam bis ini aku justru ketemu dengan teman baru. Lelaki yang duduk di sebelahku itu lebih dulu menyapa.

“Ke Jakarta?” tanyanya membuka perkenalan
“Ke Kampung Rambutan doang, pak.”
jawabku singkat, senyum, dan kembali membaca majalah.
“Senang baca ya? Saya lagi nggak suka baca. Juga lagi nggak suka lihat orang baca!”
katanya blak-blakan banget. Kututup majalah yang biasa menemani perjalananku.
“Kenapa begitu?”
tanyaku setelah menyelinapkan majalah itu ke tas ranselku.

Ia menceritakan kondisi keluarganya. Rupanya ia sedang konflik dengan istrinya, yang menurutnya seringkali bandel. Setiap di rumah, kebiasaan istrinya kalau tidak membaca majalah, ya mainkan gadget saja ketimbang mengurusi anak. Katanya, ia sudah menasehati istrinya agar mau mena’atinya sebagai suami. Bahkan ia sampai mengundang tokoh masyarakat agar bisa mengubah istrinya. Tapi hasilnya NOL! Hingga ia berencana menceraikan istrinya.

“Kenapa musti cerai, pak?” tanyaku. Aku paling sensi dengan kata cerai.
“Karena ia sudah tak ta’at lagi sama suami!”
“Maaf, selama ini, pekerjaan bapak apa? Apakah penghasilan Bapak cukup untuk memenuhi urusan keluarga?”
“..ng…. tergantung proyek lah.. sekarang sih lagi nganggur!”
ucapannya tak selancar sebelumnya.
“Jadi sekarang hanya istri Bapak yang kerja?”
“ya itulah yang bikin saya sering curiga! jangan-jangan dia selingkuh di kantor…”
“Yach, pak… udah istri kerja, capek, dapat duit buat bapak dan anak-anak… eh… dicurigain pula… kalo Bapak digituin gimana? Maaf lo, pak!”
menurutku ucapanku ini masih sopan.
“Iya sih, memang nggak ada bukti kalo dia selingkuh. Tapi sejak kerja, ia jarang melakukan fungsinya sebagai istri! itu yang saya kesal!”
“Maaf, pak. Selama Bapak nganggur, apakah bapak melakukan fungsi sebagai suami?”
“…. ng… maksudnya?”
“Seperti yang dilakukan istri bapak, cari nafkah buat anak-anak…”
aku rada mengerem omongan. Khawatir ia tak berkenan.
“Ya, kan saya lagi nganggur! mana bisa!”
ia tak terima omonganku. Matanya menatap ke luar jendela. tak lagi berbincang denganku. Yang terdengar hanya gemeretak gigi gerahamnya saja.

Obrolan hanya sampai di situ. Sepertinya ia kesal dengan akhir omonganku. Tak apalah, tokh dia yang mulai, dia juga yang mengakhiri. Aku kembali mengambil majalah dan membacanya. Tapi obrolan tadi menetap di kepalaku, tentang peran lelaki terhadap perempuan. kadang lelaki tak memberikan ruang buat perempuannya, baik itu ruang untuk berbicara, berdialog, istirahat, dan segala ruang yang kita kuasai. Ya, ini mungkin keteledoran kita sebagai lelaki.

Aku turun di gerbang depan Terminal Kampung Rambutan sedangkan bis itu membawanya pergi, masuk ke Terminal. Kuperhatikan saat bis menjauh. Masih terbayang sosok lelaki yang kisahnya mengendap di kepalaku.

 

  • 07/12/2012