Cecunguk Kembali Nyalon Pemilu

April 2014 Indonesia pemilu lagi. Inilah musim di mana bertebaran janji calon anggota legislatif dan calon presiden. Yang harus diingat adalah, masihkah kita rela dikhianati untuk kesekian kalinya?

coba kita ingat kembali ketika Soeharto berhenti dari jabatannya. Harapan reformasi berkali-kali tak terbukti. Sejak era Habibie hingga siapalah presiden kita kini. Reformasi cuma bualan yang keluar dari bacot para pengincar kursi.

Kini para capres itu kembali mendekatkan diri. Memasang topeng ramah dalam setiap kesempatan. Mulai dari media pohon, tembok, billboard, radio, televisi, hingga internet. Wajah dan kutipan kata-kata bijak mereka dipampang untuk menutupi kesalahan dan kebobrokan yang belum selesai. Tak perlu susah mencari bukti borok masa lalu mereka. Tinggal searching saja di internet, pasti kita temukan berita-berita yang tentunya tak mau mereka lihat kembali.

Para caleg tak ada bedanya. Sama-sama gebleg. Bersuara lantang melawan korupsi, tetapi malah terlibat ketika menjadi anggota komisi. Mengumbar agenda perubahan tetapi hanyut dalam perebutan proyek pembangunan dan bantuan. Masihkah kita memilih partai dan caleg yang setiap saat berganti wajah dengan topeng yang mereka koleksi?

Apakah tidak ada anggota dewan yang baik-baik saja? Ada tapi sedikit. Minoritas yang tak berkutik di tengah hegemoni jejaring koruptor. Mereka hanya punya dua pilihan; Mengelus dada sebab tak berani melawan karena takut dipites raksasa; Melawan dengan risiko kedudukannya diganti oleh pimpinan partainya sendiri.

Coba kita lihat kembali janji-janji mereka. Coba bandingkan dengan kabar kasus yang mereka perbuat. Apakah mereka sudah bekerja? Apakah kita masih mau menggaji dan membiayai fasilitas mewah untuk mereka yang tak benar-benar mewakili kita? Ingat! Kemewahan hidup yang mereka nikmati, itu uang kita. Itu hasil keringat kita yang rela berangkat pagi pulang malam, yang rela tubuh belepotan lumpur dan oli, yang rela menjual sayur-mayur setiap malam.Sementara mereka melupakan kita sambil menikmati kemewahan dengan rakusnya. Misalnya, dengan gaji yg bersumber dari kita, mereka membeli asset saudara kita yang miskin di pelosok desa. Dengan uang yang kita relakan, mereka menjadi tuan tanah baru, menjadi cukong di desa-desa, di mana saudara kita kaum pribumi menjadi jongos di desanya sendiri.

Masihkah kita mau memilih para cecunguk itu?

  • 03/02/2014