Catatan Akhir Tahun: Rapuhnya Pancasila dan Ketakutan pada Agama

Bisa dibilang hampir 2 tahun (2018-2019) aku mengikuti aktivitas yang beraroma Pancasila. Berbagai pertimbangan membuatku memilih untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang berupaya menghidupkan kembali dasar kemasyarakatan dan dasar kebangsaan kita, yaitu Pancasila. Padahal sebelumnya, aku malas sekali berurusan dengan apapun yang berbau Pancasila, sering kita menyaksikan sendiri, orang-orang yang mulutnya menggaungkan Pancasila tetap saja doyan korupsi. Untuk melawan kenyataan itu, aku membuat kaos “WTF! Jangan Omong Pancasila kalau Masih Doyan Korupsi.” Kaos tersebut mewakili kemuakanku kepada koruptor Pancasilais.

Kaos ini sudah beredar di semua teman yang menjiwai Pancasila

Perjalanan berkeliling daerah, keliling kampung dan komunitas dengan membawa-bawa semangat Pancasila yaitu Bhinneka Tunggal Ika aku lakoni. Tujuanku satu saja, belajar dari orang-orang di mana aku pijak tanahnya. Dari Aceh sampai Papua, dari penganut agama yang resmi diakui hingga agama leluhur yang meskipun tak diakui pemerintah tapi tetap ada, aku belajar menjiwai bagaimana mereka hidup dan bagaimana mestinya aku hidup sebagai bagian dari bangsa multikultural.

Secara konsep sudah benar, bangsa ini memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Seperti data yang dicatat BPS tahun 2010 bahwa bangsa kita ini terdiri dari 1.340 suku bangsa. Ribuan suku itu tak mungkin disatukan dalam 300 kategori. Lebih tak mungkin lagi dicampur menjadi satu suku. Dari ribuan suku terdapat sekira 245 agama leluhur. Dari ratusan agama tersebut tidak bakal bisa jika disatukan dalam 6 agama yang diakui pemerintah. Apalagi disatukan dalam satu agama mayoritas. Sangat tidak mungkin dan sangat tidak manusiawi. Bahkan bisa aku bilang, sangat tidak pancasilais sebab semboyan bhinneka tunggal ika adalah spirit bagi bangsa ini.

Apakah masyarakat kita dapat benar-benar bersatu? Jawaban itu bisa kita lihat sendiri di masyarakat. Rakyat Indonesia yang multikultural ini sesungguhnya adalah rakyat yang ramah dan tidak suka menyakiti orang lain. Sudah terbiasa hidup dalam keragaman sejak zaman leluhur mereka berabad-abad lamanya. Di kampung-kampung, hidup bersama dan bergotong royong bukan sesuatu yang aneh. Itulah spirit hidup bersama yang mereka jalani turun-temurun dari generasi ke generasi.

Temanku yang baru pertamakali ke Aceh terkejut ketika aku izin mau ke Vihara Dharma Bhakti yang terletak di jalan T. Panglima Polem. Ia bukan kaget karena aku ke Vihara tetapi tak menyangka kalau di Aceh ada Vihara, ada keturunan Tionghoa. Dari situlah akhirnya aku memberitahukan bahwa orang Tionghoa sudah sejak abad ke-17 hidup di Serambi Mekkah ini. Bahkan boleh jadi lebih jauh dari abad itu.

Keterkejutan itu juga terjadi saat aku ke Manokwari. Salah seorang teman tak menyangka kalau sahabatku yang lahir dan hidup di sana adalah seorang muslim dan pengurus Masjid pula. Sebelumnya ia sempat termakan hoax yang beredar di grup whatsapp bahwa di Papua umat Islam dilarang menyetel adzan, kaum muslimahnya dilarang pakai jilbab, dan tak boleh membangun masjid. Saat menjejakkan kakinya di sana, akhirnya ia menyaksikan sendiri betapa rakyat kita biasa hidup berdampingan dengan beragam perbedaan. Bahkan sang pengurus Masjid itu pula yang mengantarkan dan mendampingi kami mengunjungi Patung Kristus Raja di pulau Mansinam.

Foto oleh mataharitimoer mt dari Pexels

Begitulah kalau kita melihat langsung ke kampung. Rakyat kita sudah terbiasa hidup bersama dan bisa bergotong royong dalam keragaman. Bagi mereka, terutama di Papua, agama adalah pilihan pribadi namun mereka tetap memiliki komitmen bersama sebagai masyarakat yang hidup dalam keragaman budaya. Aku iseng bertanya soal pancasila. Baginya hidup bersama dalam keragaman sudah lama terjadi sebagai warisan leluhurnya, dibandingkan dengan pancasila yang baru dikenal sejak Indonesia merdeka. Yang menyatukan bangsa ini adalah sikap saling menghormati. Pancasila hanyalah konsep yang di dalamnya memasukkan berbagai pemikiran salah satunya rasa saling menghormati.

Pada konsepnya memang demikian. Pancasila adalah konsep hidup berbangsa. Jika kita ingin Indonesia menjadi bangsa yang bersatu, tak ada pilihan selain menjadikan Pancasila sebagai dasar dari kebangsaan. Namun konsep tak selalu mulus saat dijalankan. Masih ada saja pihak-pihak yang memiliki jabatan politik maupun jabatan kultural, tetapi malah menjadi contoh tidak menghormati perbedaan.

Aku trenyuh ketika mendapatkan sebaran informasi tentang penganut agama nasrani dilarang beribadah dan merayakan natal di kampung tempat mereka tinggal. Apapun alasannya, hal tersebut sama sekali tak berperikemanusiaan, di mana Pancasila lahir dari prinsip peri kemanusiaan itu. Seolah-olah kegiatan agama orang lain dapat meruntuhkan keyakinan agama warga lainnya. Padahal sehari-hari mereka biasa saja bermasyarakat. Entitas masyarakat seperti ini mungkin tak bisa belajar dari sudut-sudut kampung lain yang biasa hidup bersama walaupun berbeda agama.

Belum selesai urusan diskriminasi pemeluk agama di negara berfalsafah Pancasila, masih ada lagi persoalan pelarangan mengucapkan selamat natal. Isu ini selalu menggelembung setiap akhir tahun. Padahal teman-teman yang merayakan natal tak pernah mempersoalkan apakah kita mau mengucapkan selamat natal atau tidak. Bagi mereka perayaan natal adalah pengalaman spiritual. Terlalu receh jika urusan mengucapkan selamat menjadi persoalan. Dan teman-temanku yang merayakan natal pun tak pernah sekalipun terbersit untuk mengajak temannya yang muslim dan mengucapkan natal untuk hijrah ke agama mereka.

Urusan natal ini tak kelar-kelar hingga Indonesia memasuki tahun 2020. Masih saja perayaan natal menjadi perayaan agama yang harus dijaga keamanannya. Menurutku ini merupakan cermin kegagalan negara dalam menjamin kebebasan beragama rakyatnya sendiri. Negara telah gagal memberikan rasa aman terhadap pemeluk agama. Padahal itu termasuk dalam agama resmi yang diakui pemerintah, bagaimana dengan nasib agama-agama leluhur yang tidak diakui?

Alasan utama natal perlu dijaga adalah terorisme. Sejak zaman Soeharto hingga zaman “koq masih kayak Soeharto aja”, terorisme masih menjadi momok negara. Ancaman terorisme seolah tak pernah berakhir. Tahun ini (2019) kasus yang tercatat POLRI ada 8. Memang lebih sedikit ketimbang tahun 2018 dengan 19 kasus terorisme. Bahkan menjelang natal selalu dilakukan penangkapan terduga teroris dengan alasan Preventif Strike. Penangkapan terduga teroris menjelang Natal dan Tahun Baru 2019 sebanyak 71 orang. Penangkapan terjadi di beberapa daerah: Pekanbaru (5 orang), Jabodetabek (3 orang), Banten (5 orang), Jawa Tengah (11 orang), Medan (30 orang), Jawa Barat (11 orang), Kalimantan (1 orang), Aceh (2 orang), Jawa Timur (2 orang) dan Sulawesi Selatan (1 orang).

Dengan ditangkapnya para terduga teroris, apakah ancamannya berhenti? Tidak. Meskipun POLRI sudah mengetahui peta jaringan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) maupun Jamaah Islamiyah (JI) di negara ini, tetap saja aparat kita masih suka kecolongan. Kecolongan yang paling memalukan adalah kasus ditusuknya Menkopolhukam Wiranto sebelum Jokowi mengumumkan kabinetnya. Entah itu kecolongan atau kelocokan. Tak tahulah pastinya bagaimana. Yang jelas terorisme menjadi drama yang sepertinya tak pernah selesai.

Satu hal yang mesti kita luruskan adalah, Islam bukan agama yang tidak punya cinta kasih dan cinta damai. Islam bukan agama teroris meskipun pelaku teror adalah orang-orang yang mengatasnamakan Islam. Termasuk di dalamnya kelompok muslim yang diskriminatif terhadap pemeluk agama dan aliran berbeda. Mereka bertindak seperti itu bukan berarti tidak ada umat Islam yang cinta damai. Jangan juga keliru mencurigai kaum muslim yang bercelana cungkring, memelihara jenggot, dan mengenakan niqab dan gamis dan jilbab panjang sebagai kaum radikal. Tidak seperti itu sesungguhnya. Masih banyak teman-temanku yang setiap hari berciri seperti itu adalah pemeluk Islam yang cinta damai dan toleran terhadap perbedaan.

Kembali pada Pancasila sebagai dasar pembentukan bangsa multikultural, kita adalah sebuah bangsa yang membangun kebersamaan sejak lama. Sejak dulu bapak bangsa kita tak pernah mempersoalkan agama dan ideologi masing-masing untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan.

Persoalan kita bersama adalah bagaimana menjaga agar tidak mudah terprovokasi dengan berbagai isu dan insiden yang ada di sekitar kita. Kita hidup di era manakala media sosial dan grup chat menjadi penyebar kabar. Setiap kabar yang masuk sebaiknya diteliti dulu sebelum disebarkan kembali. Terutama kabar yang dapat memicu keretakkan hidup berbangsa.

Pancasila itu tergantung orang-orangnya sendiri. Jikalau kita rapuh dalam bersikap teguh, mudah dipancing untuk membenci orang yang berbeda, maka Pancasila pun akan rapuh. Serapuh kaum pengelola pemerintahan daerah yang melarang penganut agama tertentu beribadah. Pada hati kaum seperti itulah Pancasila mati. Pancasila rapuh manakala kita takut dengan agama yang berbeda.

Untuk urusan terorisme atau ekstremisme, jangan mengandalkan polisi dan TNI saja. Setiap orang di negeri ini mesti bersikap tegas manakala ada kecurigaan terhadap orang-orang di sekitar tempat tinggalnya. Jangan terjebak pada penampilan. Yang berjenggot belum tentu teroris, yang bercelana jins dan bergaya anak zaman now pun belum tentu bukan teroris. Perlu pengenalan lebih dekat. Berkomunikasilah dengan mereka yang dicurigai. Sebab dari dialognyalah kita bisa menduga apakah yang dibicarakan merupakan konsep-konsep jihadis yang biasa ditanamkan di kalangan mereka atau konsep kelompok puritan saja.

Bagaimana memahami konsep tersebut? Tak cukup saya tuliskan di sini. Kalaupun mau, mesti di warung kopi yang suasananya enak buat ngobrol.

  • 23/12/2019