Digugu dan Ditiru

Pendidikan adalah satu momen penting yang memengaruhi masa depan anak-anak kita. Pendidikan juga merupakan hak anak yang harus kita penuhi. Bagaimana pun sulitnya kekuatan finansial kita, anak-anak harus tetap bisa menerima hak mendapatkan pendidikan.

Lingkungan pendidikan yang paling penting buat anak adalah rumah. Tetapi bukan berarti sekolah tak cukup penting dalam memengaruhi pertumbuhan mental, intelektual, dan budi pekerti anak-anak kita. Kepada sekolah, orang tua murid menaruh harapan besar bagi bekal masa depan anaknya. Dan Figur yang paling sering disorot dalam peran mendidik di sekolah adalah guru.

Entah dengan istilah apa Anda menyebut profesi ustadz, pengajar, pendidik, dosen, atau apalah, yang pasti saya menyederhanakannya dengan sebutan guru.

Ketika pertama kali Anda menyatakan diri bersedia menjadi guru, saat itulah Anda telah mempertaruhkan seluruh kehidupan Anda menjadi orang yang bertanggungjawab terhadap jati diri (mental, spiritual, budi pekerti, dan intelektual) anak. Apa yang Anda pertaruhkan dalam dunia Anda ini? Bakat? Tanpa bakat setiap orang bisa menjadi guru asalkan dia senantiasa memoles diri bagaimana menjadi guru yang mulia. Apakah ijazah? Berapapun nilai akademis, tak ada gunanya jika tak terefleksi dalam etos kerja keseharian. Apakah Kreativitas? Kreativitas hanya akan menjadi kesibukan yang melelahkan jika Anda tak punya keberanian dan empati dalam membuat blueprint masa depan anak didik Anda sendiri. Apakah keikhlasan? Keikhlasan hanya akan melahirkan cemoohan jika Anda masih saja mengeluhkan beban di depan anak didik. Apakah penghasilan? Ini merupakan kewajaran yang kadang bisa membuat seseorang menjadi sangat perhitungan dalam bekerja, sehingga hari-harinya disibukkan untuk mengejar kelengkapan sertifikasi.

Semua hal di atas adalah pertaruhan saat menerjunkan diri dalam dunia pendidikan. Tapi pernahkah Anda merencanakan membuat progress report terutama buat anda sendiri? progress report apapun bentuknya, entah itu matriks, form, ataupun catatan sederhana, sangat penting Anda buat, agar Anda sendiri dapat menilai pencapaian target yang telah diagendakan.

Kan sudah ada satpel, buat apa repot-repot bikin report?

Jika anda hanya berkonsentrasi pada target administrasi-akademik, satpel memang cukup. Tapi jika anda membutuhkan trigger agar senantiasa fresh dan inovatif dalam mendidik, Anda perlu membuat catatan pribadi tentang rencana dan progress Anda sendiri. Ini berkaitan dengan concern profesi Anda sebagai guru.

Progress report, entah bagaimana bentuknya, paling sederhana adalah diary, sangat berguna ketika Anda sudah menjalani tugas mulia ini.

Coba saja dalam tiga bulan pertama pelaksanaan tugas. Jika Anda rutin membuat catatan tentang apa yang anda rencanakan tentang para siswa, Anda bisa menilai sendiri apakah tahapan tujuan yang Anda tentukan tercapai atau tidak.

Lalu pada satu semester, Anda perlu menganalisa catatan pribadi tersebut. Ketika Anda membacanya, akan terbayang bagaimana sebenarnya Anda sendiri, apa yang telah Anda perbuat, bermanfaatkah, sia-siakah, atau stagnan? Dari analisa tersebut tentunya Anda bisa melakukan perbaikan diri, misalnya, upgrade jati diri anda (mentalitas, spiritualitas, intelektualitas), dan refleksinya atas kinerja.

Ada seorang sahabat berusia lebih tua dari saya. Dia mengajar di sebuah sekolah orang-orang miskin. Setiap pagi hingga sore dia mengisi dunianya bersama anak-anak didiknya. Ketika selesai bertugas dan kembali ke rumah, dia hanya tidur sebentar lalu merancang sesuatu yang akan diberikan kepada muridnya esok hari. Ini selalu terjadi setiap hari bahkan saat akhir pekan, sebelum mengisi hari libur dengan kegiatan yang disukainya.

Saya pernah bertanya kepadanya, mengapa waktunya dihabiskan untuk anak-anak didik. Dia menyatakan bahwa yang dilakukannya adalah resiko seorang guru. Ketika seseorang menasbihkan dirinya sebagai guru, maka ia harus rela mengisi dunianya dengan planning, aksi, dan review, atas profesinya tersebut.

Ketika saya tanyakan kepada murid-muridnya tentang tanggapan mereka terhadap guru tersebut, jawaban mereka saya simpulkan begini, Guru tersebut bukan merencanakan pelajaran karena pelajarannya sudah sangat terencana dalam satuan mata pelajaran. Yang dia rencanakan setiap malam adalah suasana fun dalam kelas, mengerti keberagaman sikap dan minat anak-anaknya di kelas, meng-update catatan spesifik tentang perkembangan muridnya satu persatu, dan update terhadap rencana pengajaran yang telah dibuat sebelumnya. Inilah yang membuatnya begitu dicintai oleh semua muridnya.

Apakah Anda benar-benar siap menjadi guru? Jika jawaban Anda ya, bahkan bukan sekedar ya, malah guru adalah dunia yang tak dapat Anda tinggalkan, berarti Anda memang mempunyai seperangkat cara untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan para murid.

Tapi jika Anda ragu-ragu menjadi guru, apalagi kalau hanya menjadikan profesi guru sekedar batu loncatan, lebih baik Anda meloncat jauh dari dunia pendidikan. Sebab jika Anda memaksakan diri untuk terjun di dunia yang menantang ini, Anda hanya akan menyiksa diri dengan segala mimpi-mimpi Anda di dunia lain. Dunia di luar pendidikan.

Jadi, jika Anda memang guru, bekerjalah sebagai seorang guru, bukan buruh. Guru adalah pekerjaan berat yang menyenangkan. Bahkan bagi sebagian orang, mereka merasa bukan sekedar bekerja, tapi hidup! Yaitu bekerja dengan cinta, hidupnya memang didedikasikan untuk pendidikan, lelah dan segarnya, sedih dan bahagianya adalah irama yang melingkari hari-harinya.

Semoga saja Anda bisa menjadi guru yang inspiratif bagi sesama teman seprofesi sehingga makin banyak guru yang baik, di tengah menipisnya mental guru yang saya temukan beberapa tahun belakangan ini.

  • 11/08/2012