Blogger yang Terjebak

Mungkin 2-3 tahun lalu masih banyak blogger yang bermimpi ingin menjadi penulis. Menulis atau menerbitkan buku sebelumnya terbayang sebagai urusan yang sulit terwujud. Alasannya sederhana: Blogger nggak percaya diri jika bisa menerbitkan buku. Namun pergaulan dengan beberapa blogger yang sudah menulis buku dan atau penulis buku yang juga ngeblog, akhirnya membuat kepercayaan diri semakin tumbuh. Didukung dengan maraknya layanan self publishing, akhirnya menerbitkan buku bukan lagi impian di awang-awang. Asal ada bahan tulisan, dipastikan bisa langsung dicetak dan dijual.

Tapi ada fenomena yang “penting-nggak-penting” dibahas, terkait impian blogger menerbitkan buku. Pernah suatu hari seorang teman blogger bilang kepadaku, “Dulu sebelum menerbitkan buku, aku membayangkan keren banget deh nantinya. Tapi setelah terbit, koq kayaknya biasa aja, ya?”. Boleh jadi apa yang diutarakan temanku itu juga diselatankan eh, dirasakan sama oleh blogger yang lain. Awalnya mereka merasa levelnya akan meningkat, dari blogger menjadi penulis buku. Bayangan popularitas terbayang di benak mereka. Bahkan ada satu atau dua teman blogger yang merasa lebih “nyeleb” dari sebelumnya, hanya karena menulis atau menerbitkan sebuah buku. Akhirnya? Ya, kita sama-sama tersenyum dan menyadari bahwa semua itu hanya jebakan.

Koq jebakan? Siapa yang menjebak kita?

Tak ada yang menjebak selain pikiran kita sendiri. Mungkin teman-teman blogger sering mendengar beberapa kali aku mengatakan bahwa popularitas, menerbitkan buku, berkenalan dengan blogger yang dianggap seleb, bisa menjadi jebakan. Yang paling gampang terjebak adalah blogger yang bermimpi menjadi seperti orang lain, misalnya menjadi seperti blogger yang kini terkenal sebagai penulis buku, bintang film, MC, bintang iklan, dan sederet popularitas lainnya. Masalahnya, blogger yang bermimpi itu sekadar ingin menduplikasi (copy/paste) jalan hidup orang lain. Jika tak menginsyafi “satu rahasia”, blogger pemimpi tersebut akan terjebak dan hanyut dalam impian, bukan kenyataan. Ia akan bersikap “seperti terkenal”.

Begitu juga blogger yang bermimpi menjadi penulis buku. Boleh jadi karena banyak penulis buku atau pun blogger yang sudah lebih dulu menulis buku sering berkoar tentang betapa mudahnya menulis dan menerbitkan buku, membuat blogger yang biasa mengupdate blognya tak lebih dari 400 karakter ikut-ikut bermimpi menjadi penulis, dikerumuni penggemar yang minta tanda tangan di bukunya, dan sederet bayangan lain yang biasa mengikuti kehidupan seorang penulis (terkenal). Kembali aku teringat dengan selorohan temanku di atas, “Koq setelah nerbitin buku, rasanya tak ada yang berubah, ya?”. Itulah. Khayalan yang ujungnya bermuara pada dua hal, –terkenal dan kaya raya– akhirnya benar-benar membuat blogger pemimpi itu frustasi. Ia tak merasakan keterkenalan seperti beberapa penulis terkenal yang ia ingin duplikasi. Ia juga frustasi, rupanya menulis buku tak membuatnya kaya raya. Royalti yang diterima tak pernah berbilang milyar.

Begitulah, sering kali kita terjebak oleh khayalan, prasangka, dan berbagai hasrat yang hanya membuat kita “sepertinya terkenal”. Makin naif lagi jika kita tak menyadari dan tak mengubah sikap “seolah-olah terkenal” itu, yang bagi blogger lainnya tampak menyebalkan. Teman, sadarlah bahwa popularitas itu belum tentu membuat kita lebih baik. Belum tentu membuat kita lebih dewasa dalam menyikapi ragam celah kehidupan. Dan yang lebih penting, merasa “seperti terkenal” tak akan pernah membuat kita banyak uang. Suatu malam kita euforia di depan lensa kamera, suatu hari kita berkoar di atas panggung seminar, workshop, pelatihan, dan semacamnya, tetapi tak berapa lama setelah itu kita masih harus mencari recehan sekadar membeli seliter beras atau sebungkus mie instan.

Lalu bagaimana semestinya?

Jika memang ingin menjadi orang yang benar-benar terkenal, jangan menduplikasi (copy/paste) gaya orang terkenal yang kita dambakan. Jangan tiru gaya berfoto dan celotehannya, tetapi petiklah pelajaran atas perjalanan hidupnya sebelum dan saat menjadi terkenal. Para motivator sering bilang: Jalani prosesnya! Itu rahasia yang sempat kusinggung di atas.

Begitu pula dengan blogger yang mendamba menjadi penulis. Jangan memisahkan diri lantaran merasa naik level, dari teman-teman yang tak menerbitkan buku. Jangan memonyongkan bibir saat tak ada yang minta tandatangan di bukumu. Cerna kembali tujuan menerbitkan buku, apakah karena popularitas, uang, atau sekadar menyebarkan pesan moral dalam sebentuk buku. Jika popularitas menjadi tujuan, itu tak salah. Namun pelajarilah proses yang dijalani para penulis terkenal. Cermati bagaimana mereka meniti karir sebagai sebenar-benarnya penulis. Jika uang menjadi tujuan, sah-sah saja. Carilah relasi yang bisa membuat kita lebih cepat menangguk Rupiah, misalnya dengan menerbitkan buku-buku pelajaran sekolah. Kalangan dunia pendidikan di Republik ini sering bagi-bagi proyek penerbitan buku pelajaran kepada siapa saja yang mau antre.

Jika tujuan menulis buku hanya sekadar menyampaikan misi, pesan moral, keterampilan, ataupun tip tertentu kepada khalayak penggemar buku, lakukanlah. Aku justru salut dengan mereka yang seperti itu, menerbitkan buku tanpa khayalan popularitas dan kekayaan. Banyak penulis di dunia ini yang bukunya tersebar di seantero jagad, tetapi kehidupannya biasa saja, tak bergabung dalam komunitas borjuis, melainkan tetap membumi dan bersikap seperti tanah liat terhadap orang-orang di sekitarnya.

  • 07/11/2012