Berbaur di Kampung Aur

Kampung ini menjadi incaranku. Aku ingin menyaksikan spirit warga Kampung ini berupaya mengubah kesan kumuh kampungnya yang rawan digusur menjadi destinasi wisata kreatif. Ekowisata, istilah kerennya. Kampung Aur, namanya. Lokasinya di kelurahan Aur, kecamatan Medan Maimun. Pastinya kampung yang dihuni sekitar 350 Kepala Keluarga ini berada di tepian Sungai Deli. 

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=rTfdzVsSaVQ[/embedyt]

Aku memandangi salah satu sisi Kampung Aur dari atas jembatan Sungai Deli. Kegiatan warga yang mencuci pakaian di tepi kali, anak-anak yang riang salto ke sungai, anak-anak yang asyik bermain bola di sisa halaman sempit, dan perbincangan anak-anak lainnya di sebuah sanggar, menarikku untuk melangkah ke sana.

Langkahku terhenti di mulut gang karena sekelompok ibu terlihat bercengkrama sambil menyelesaikan rajutan. Ibu-ibu ini rupanya tergabung dalam sebuah kelompok ekonomi kreatif bernama Gerakan Mamak-mamak Rajut (GEMAR). Bergantian mereka menceritakan bagaimana saling mengajarkan rajutan dan menjualnya sebagai salah satu sumber penghasilan. 

“Yang ini pesanan ibu Walikota, yang itu untuk dijual di pameran.” jelas salah seorang Mamak. 

Mereka pun menceritakan bagaimana upaya mengubah citra kampung Aur menjadi kampung wisata. Beberapa pekerja sosial yang mendukung mereka sedang menggalang dana untuk membeli cat untuk mewarnai setiap rumah dengan aneka ragam warna ceria. 

“Bukan cuma soal mengubah rumah dengan cat warna-warni, tapi juga memicu kreativitas dan kemampuan warga dalam berbahasa asing, membuat kerajinan tangan, dan kuliner kampung yang murah.” Siol Saragi Dabukke temanku dari INGAGE medan, mengutarakan misi salah seorang penggagas perubahan Kampung Aur, Bang Budi Bahar namanya, yang membangun sanggar LABOSUDE, Laskar Bocah Sungai Deli.

Usai berbincang dengan Mamak-mamak Rajut, aku dan “tim kelayapan” mencicipi jajanan khas Kampung Aur. Aku memesan sepiring mentung lontong sayur medan dan segelas Es Lengkong. Es Lengkong itu kata orang Medan. Aku biasa menyebutnya es cincau hitam. Kaget banget sebab menu yang kulahap itu cuma seharga limaribu perak. Lonsay seharga tigaribu, Es Lengkong cuma duaribu. Kunikmati kuliner Kampung Aur di tepi Sungai Deli sambil berbincang dengan bocah-bocah yang kuperhatikan sejak dari jembatan. 

Obrolan tentang media sosial terjadi begitu saja saat kulihat seorang bocah perempuan sedang selfie di depanku. 

“Ngapain, dek?” sapaku

“Bikin story buat Instagram, Bang.”

“Wah, main Instagram juga rupanya. Banyak followernya? Apa saja yang dipublish di IG?”

“Macam-macam, Bang. Anak-anak yang lagi mandi di sungai, kegiatan lain di kampung ini, tapi kebanyakan sih selfie.” Jawabnya tersipu. 

“Kalo saya nonton film di Youtube.” Samber bocah jenaka yang menghampiri kami. 

Satu lagi yang membuatku yakin kalau warga Kampung Aur ini amat siap berubah, yaitu kegiatan para remaja di sisi masjid yang sedang membuat kerajinan tangan berbahan kayu, bambu, dan batok kelapa. Macam-macam yang mereka buat. Ada celengan beragam profil, miniatur mobil, motor, kapal laut, dan bentor

Sebelumnya aku ke Medan dan ngobrol bareng pengemudi Bentor. Darinya aku mendapatkan potret Medan dalam perspektif berbeda. Kegiatan lain yang keren juga ada di Medan.

Andai tak ada agenda lain di Medan, aku kepingin berlama-lama di Kampung Aur. Nginep di sanggar Bang Budi untuk berbincang lebih dalam tentang progres Kampung Warna-warni yang dimotorinya. 

Oh ya, kalau Anda mau membantu warga Kampung Aur mengubah kampung mereka menjadi kampung wisata, bisa memulainya dari bit.ly/kampungaur 

Author: MT

1 thought on “Berbaur di Kampung Aur