Bangkitnya Para Pendekar dari Kuburan Film Silat Indonesia

Film Pendekar Tongkat Emas garapan Miles Films (2014) menjadi incaranku sejak 4 kali menonton behind the scene di Youtube. Cuplikan Pendekar Tongkat Emas di Youtube memicu kerinduan menonton film silat klasik seperti zaman Barry Prima, Advent Bangun, Ratno Timoer, Willy Dozan, dan lainnya yang tak kukenal. Melihat penggarapannya, aku yakin aksi para pendekar dalam film Pendekar Tongkat Emas akan lebih keren dibandingkan dengan film silat klasik Indonesia. Apalagi Miles melibatkan Xiong Xin Xin, yang biasa menggarap koreografi film silat Mandarin. Makin tak sabar menunggu dibukanya pintu Studio 5 XXI BotaniSquare.

Aku juga menunggu cerita, filosofi, narasi, dan dialog indah dan apik dengan terlibatnya Jujur Prananto dan khususnya Seno Gumira Ajidarma (SGA) dalam penulisan skenario film ini. Duet mereka adalah jaminan dalam membabar kisah para pendekar.

Film dimulai. Benar saja, narasi pembuka dari Pendekar Cempaka yang diperankan Christine Hakim benar-benar menunjukkan kualitas detail yang kuharapkan.

Dunia persilatan ibarat lorong gua yang panjang.
Meski ilmu silat kalian sangat unggul siapkah kalian menahan diri untuk tidak jadi pemenang? ~ Pendekar Cempaka

Bukan cuma itu. Aku pun yakin banyak penonton yang terpana menatap layar di awal film ini. Ya, lanskap alam Sumba Timur benar-benar memicu khayal untuk menginjakkan kaki di sana. Bahkan sorotan gambar lanskap alam itu lebih indah jika kubandingkan dengan lanskap alam di film Lord of The Ring.

Sejujurnya, sebelum menonton film ini pikiranku sudah dipenuhi dengan pengaruh novel Nagabumi (1 dan 2) yang ditulis SGA. Terutama tentang detail jurus, dialog, alur cerita, narasi, lokasi, dusun, masyarakat, dan nilai-nilai filosofisnya. Apakah film ini berhasil memberikan detail seperti dalam pikiranku?

Christine Hakim sebagai Pendekar Cempaka | sumber: tautan image

Aku berani bilang, Ya. Film Pendekar Tongkat Emas cukup berhasil memberikan detail yang kupikirkan. Narasi dan dialog berisi, berlimpah di film ini. Sepertinya dialog tersebut menuntut latihan keras para pemeran untuk melafalkannya di dalam film.

Sepanjang film, musik yang digarap Erwin Gutawa ini benar-benar berhasil membungkus cerita, konflik, kesedihan, dan segala situasi dengan pas. Menurutku musik berperan penting dalam mengikat emosi penonton film.

Satu sisi film yang disutradarai Ifa Isfansyah ini menggambarkan dunia persilatan yang penuh dengan pengkhianatan, sikap baik yang menyelimuti kebusukan diri, keserakan akan warisan dan kekuasaan, yang dapat kita temui dalam perpolitikan di negeri kita, Indonesia. Lebih detail lagi, bisa dibaca dalam Nagabhumi-nya SGA, tentang para pendekar dunia hitam yang polahnya sama dengan para politikus hitam.

Baiklah aku kembali ke jalur tulisan ini.

Satu-satunya yang kusayangkan dari film ini adalah tentang Jurus Tongkat Emas Melingkar Bumi. Film ini kurang memvisualkan keistimewaan jurus Melingkar Bumi, khususnya tuah Tongkat Emas selain untuk merompalkan batang pohon dan menembus membunuh Pendekar Biru, perampas tongkat tersebut. Kupikir ketika syarat jurus Tongkat Emas Melingkar Bumi yang mana harus dimainkan berpasangan, akan menampilkan secara detail duet Elang dan Dara dalam memainkan jurus tersebut. Aku membayangkan seperti kehebatan jurus pedang kembar yang diceritakan Seno Gumira Ajidarma dalam Nagabhumi. Hanya tentang hal itu, sepertinya film ini belum berhasil memvisualisasikan jurus-jurus yang seharusnya menarik.

Aku berharap jika ada film lanjutannya, jurus-jurus andalan dalam film persilatan itu lebih bisa didetailkan visualisasinya.

Tetapi secara utuh, Pendekar Tongkat Emas berhasil membangkitkan kembali film persilatan Indonesia yang telah lama terkubur. semoga saja para pendekar klasik Indonesia seperti Jaka Sembung, Mandala, Panji Tengkorak, Pitung, Jampang, dan lainnya bisa ikut bangkit dari kuburan industri perfilman Indonesia, sebab produser lainnya terpancing membuat film silat sehebat Miles Films.

  • 20/12/2014