Obrolan Asbak dan Cangkir Kopi

Kedai kopi tempat berkumpulnya muda-mudi, pebisnis, perajin, pemalas, periang dan penyendiri, menyisakan sebuah asbak dan cangkir di meja paling sudut dan paling sepi. Sudut yang biasa dipesan oleh mereka yang lebih suka ke kedai kopi untuk menyepi, menyendiri, tanpa perbincangan baik dengan orang di meja sebelahnya maupun dengan orang lain melalui smartphonenya.

Di ujung malam, di sudut itu asbak dan cangkir masih membahas persoalan mereka.

“Orang-orang yang duduk di ruang ini kenapa lebih suka merenung, ya jika dibandingkan dengan mereka yang berisik di sudut sana?” Tanya asbak kepada cangkir yang matanya mulai sayu.

“Mungkin jawabannya sama seperti pertanyaanku kemarin.” Cangkir menjawab tapi tak menatap.

“Apa pertanyaanmu kemarin?” Asbak mengingat-ingat meskipun sering tak akan teringat.

“Aku bertanya padamu, kenapa orang-orang yang duduk di ruang sana lebih terlihat ceria, ramai, sepertinya bahagia sedangkan orang di tempat kita ini seperti terlihat bermuram durja?” Cangkir mengulang pertanyaannya kemarin.

“Pertanyaan kita berbeda! Lagi pula keramaian yang kamu lihat di sudut sana belum tentu merepresentasikan kebahagiaan. Boleh jadi keramaian yang mereka lakukan setiap hari adalah cara usang mereka untuk menutupi kepedihan yang tak jua menemukan penghabisan.”

“Mereka yang kamu lihat merenung di sini belum tentu pula sedang merenungkan sesuatu. Bisa jadi malah sedang buntu pikiran.” Cangkir menambahkan.

“Buntu pikiran lalu ke sini, berarti mereka sedang merenung atau berpikir atau paling tidak, sedang merenungkan kenapa sampai pikirannya mengalami kebuntuan.”

“Lalu apa bedanya pertanyaan kita?” Cangkir berpikir.

“Aku melihat mereka di sudut sana ramai dan yang di sini sepi, merenung. sedangkan kamu melihat mereka di sana bahagia dan di sini sedih. jelas berbeda cara pandang kita.” Asbak menjelaskan.

Aku melihat dengan perasaan. Kamu hanya sekadar melihat saja, tanpa merasakan.” Cangkir beralasan.

“Justru perasaan sering mengaburkan penglihatan. Silakan kau tanya pada puntung-puntung rokok ini, mereka lebih memercayai perasaan ketimbang penglihatan. Akhirnya? Kamu lihat sendiri, kan!” Asbak menjaga argumennya.

“Ya, mungkin di situlah perbedaan kita. Aku setiap saat digunakan untuk menampung beragam rasa yang dinikmati pelanggan kedai kopi ini. Berganti-ganti orang, berbeda-beda kegembiraan dan keluh-kesah. Itu yang membentuk caraku melihat sesuatu.” Terang Cangkir setengah mengantuk.

“Boleh jadi, mungkin perasaanku sudah kebal atau bahkan mati. Aku selalu dijadikan tempat membuang sampah-sampah yang tak pernah menguntungkan petani tembakau, menjadi makam puntung-puntung yang mati dengan akhir yang mengenaskan, ada yang ditindas, ada yang dibiarkan habis terbakar oleh kesia-siaan. Mungkin.” Asbak merenung.

“Ya, mungkin.” Cangkir mengiyakan.

“Kalian lupa satu hal…”

Asbak dan Cangkir terkejut mendongkak ke atas, ke sumber suara yang menyela mereka. Sebuah lampu yang selalu redup sejak dipasang.

“Di sini juga ada yang jatuh cinta.”

Bogor, jelang pagi yang nyeri

image

  • 07/04/2016