Hidup Disetir FYP, Mental Dibentuk Tiktok

Perubahan telah terjadi di masyarakat kita. Warga desa yang dulunya menghabiskan waktu di sawah dan tempat kerja lainnya, kini beralih menjadi “penghibur digital” demi mendapatkan saweran online. Setiap hari beragam konten diunggah ke TikTok dan ironisnya, konten-konten hiburan pencari saweran begitu mudah viral dan mendominasi FYP. Sementara para pelaku UMKM yang berjuang serius melakukan live selling justru tenggelam dalam lumpur algoritma.

Saya nggak berhenti live, tapi boro-boro ada yang beli. Yang nyawer aja nggak ada. Apa saya harus jualan sambil goyang sadbor atau mandi lumpur?” Ungkap penjual seblak pedas. Curhatannya senada dan senasib dengan pelaku UMKM lainnya soal jualan di Tiktok. Coba aja kamu googling “curhat umkm live tiktok”. Kamu bakal menemukan kegetiran pelaku UMKM mencari rezeki di era digital.

Kebayang gak sih, tren “Disetir FYP Tiktok” ini membuat modal sosial masyarakat kita perlahan terkikis. Waktu mereka lebih banyak tersita untuk membuat konten mengejar FYP, dan meninggalkan aktivitas pertanian dan kerajinan yang menjadi tulang punggung ekonomi desa.

Yang serius jualan, sepi, yang goyang-goyang, rame!” respons bang Japra di pos ronda, menggemakan ironi yang terjadi.

Media sosial seperti Tiktok menjadi arena pertarungan konten. Kabar buruknya, konten “mengemis dan hiburan” begitu mudah mendominasi FYP dan mendapat perhatian massa. Sementara perjuangan UMKM menawarkan produk seolah tak terlihat, tenggelam oleh algoritma yang lebih mengutamakan konten hiburan. Upaya serius mengembangkan potensi desa melalui platform digital seakan kalah popular dibanding konten-konten yang menjanjikan keuntungan instan.

Fenomena ini bukan persoalan sepele. Ini menyangkut nasib warga desa di Indonesia yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional. Transformasi digital seharusnya menjadi katalis untuk kemajuan ekonomi perdesaan, tapi kenyataannya masyarakat lebih memilih cara instan untuk mendapatkan uang. Bukankah ini menggerus nilai-nilai fundamental dan kearifan lokal yang telah lama menjadi penyangga kehidupan masyarakat?

Kemiskinan struktural menjadi akar persoalan yang mendorong masyarakat mencari alternatif instan melalui platform digital. Di tengah harga pupuk yang melonjak dan harga gabah yang anjlok, godaan untuk beralih “ngonten di medsos” yang menjanjikan penghasilan cepat menjadi sulit ditolak.

Pemerintah sepertinya juga “disetir FYP”. Kebijakannya instan: Rakyat makin miskin? Bansos solusinya! Program bantuan sosial yang seharusnya menjadi solusi sementara justru menciptakan ketergantungan baru. Ini menciptakan lingkaran setan. Kebijakan berdasarkan apa yang viral bukan berdasarkan analisis mendalam tentang akar masalah.

Fenomena “mengemis digital” seperti mengobati kanker dengan aspirin. Hanya meredakan gejala sesaat tanpa menyembuhkan penyakitnya. Ketika trend berlalu atau algoritma berubah, mereka akan kembali ke titik awal. Bahkan mungkin lebih buruk karena telah kehilangan waktu dan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan produktif. Ketika sawah kering, solusinya bukan meninggalkan sawah tapi mencari cara agar sawah bisa produktif kembali. Mungkin dengan teknologi irigasi modern, diversifikasi tanaman, atau pengembangan nilai tambah produk pertanian.

Fenomena “disetir FYP” harus menjadi alarm bagi semua pemangku kepentingan. Tunggu, ada yang menemuiku…

“Mau berharap apa dari pemerintah? Lha mereka juga mulai disetir FYP. Apa-apa yang dilakukan tergantung sama FYP atau trending topik yang lagi viral, tapi bukan mencari solusi, cuma ikut-ikutan ngonten agar tetap popular di masyarakat. Anjay kan!” kata Bang Japra..


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

One response to “Hidup Disetir FYP, Mental Dibentuk Tiktok”

  1. dobelden Avatar
    dobelden

    Jadi maap ya Om, Rumah Kopi Temanggung tidak terjun di live tiktok, karena kami mau MELAWAN OLIGARKI!!! halah halah 🤣🤣

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.