27 November pagi saya melihat pemandangan yang tak biasa di TPS sekitar rumah. Sepi. Gak ada antrian panjang seperti pemilu kemarin. Dari Timur Jakarta saya jalan-jalan ke Selatan Jakarta. Ternyata kondisi yang sama terjadi di banyak TPS. Sepi. Saya jadi mikir, kenapa warga Jakarta sepertinya kurang antusias nyoblos Pilkada? Oh munkin semalam habis begadang nonton Liga Champion, atau ada alasan lain yang lebih serieus?
Data resmi keluar: 46,95% warga Jakarta memilih untuk tidak mencoblos dalam Pilkada 2024. Hampir setengah warga Jakarta memilih untuk “tidak memilih”. Why?
Dari total 8,2 juta warga yang punya hak pilih, hanya 4,3 juta yang datang ke TPS. Ini bukan cuma masalah malas atau sibuk. Ada yang lebih dalam dari itu. Para pengamat politik menyebut ini sebagai bentuk protes diam-diam. Ya, dengan diam alias tidak memilih, warga Jakarta sebenarnya sedang berteriak keras. Tapi kenapa? Katanya warga Jakarta lebih terdidik, terutama secara politik? Kenapa partisipasinya malah anjlok?
Mungkin inilah yang disebut “educated abstention” atau golput yang terdidik. Mereka yang tidak memilih justru adalah orang-orang yang paham politik. Mereka sengaja tidak memilih karena kecewa dengan pilihan yang ada atau kecewa dengan partai politik, atau bahkan distrust terhadap “panitia”.
Partai Politik Budek
Coba ingat-ingat situasinya. Dari perseliweran media, warga Jakarta tetap memfavoritkan Anies Baswedan dan Ahok. Tapi apa yang terjadi? Tidak ada satupun dari mereka yang muncul sebagai calon. Malah yang muncul adalah nama-nama yang lebih menguntungkan partai politik.
Keputusan pencalonan kepala daerah lebih didasarkan pada kepentingan elite partai, bukan keinginan rakyat. Udah kayak restoran yang menghidangkan menu yang disukai kokinya, bukan pelanggannya.
Ridwan Kamil yang diusung Gerindra dan PKS dan partai koalisi lainnya dalam kubu penguasa, terkesan seperti dipaksakan. Terlihat gak benar-benar solid. Majunya Suswono sebagai calon wagub dari PKS juga sepertinya debatable. Tak semua elit partai koalisi Jakarta Maju berbulat hati untuk memenangkan pasangan tersebut.
Menarik untuk membaca gerak politik PKS. Mereka masih saja gampang banget dikerjain dengan siasat politik. Mereka gak sadar-sadar kalau “Bapak itu” gak bakalan rela memberikan kekuasaan untuk PKS di Jakarta. Ingat gak sih, PKS selalu gagal mendapatkan kekuasaan di Jakarta meskipun kesempatan itu sudah di depan batang hidungnya?
Pramono Anung-Rano Karno dari PDIP yang seharusnya menjadi lawan politik Koalisi Ridwan-Suswono yang merepresentasikan kepentingan Prabowo, tau-tau menyatakan akan “tegak lurus” pada Presiden Prabowo. Lha, katanya oposisi? Ternyata pernyataan Pram-Doel ini juga berpengaruh buat warga Jakarta yang merupakan PDIP garis keras. Mereka jadi malas nyoblos.
Munculnya Pram sebagai cagub ini memantik kecentilan intelektual saya sih. Jangan-jangan ini siasatnya pak Jokowi karena meskipun hubungan Jokowi-PDIP terlihat runtuh tapi Pram termasuk orang yang loyal sama Jokowi. Lebih baik memberikan kekuasaan Jakarta kepada orang yang jelas-jelas teruji loyalitasnya ketimbang kepada yang jelas-jelas meragukan integritasnya. Jadi Jokowi main? Ini cuma kecentilan pikiranku aja. gosah dianggap serius!
Dharma Pongrekun maju sebagai calon independen. Harusnya ini menarik, kan? Sayangnya, pernyataannya yang meremehkan COVID-19 di masa lalu membuat hanya 10% pemilih di Jakarta percaya pada bacotnya. Sisanya mungkin seperti sopir gojek yang bilang ke saya, “Itu orang sapesih?”
Pelajaran untuk Kita
Tingginya angka golput di Jakarta adalah alarm keras yang tidak boleh diabaikan. Ini bukan tanda bahwa warga Jakarta tidak peduli dengan politik. Justru sebaliknya, mereka sangat paham permainan politik yang menjemukan, sampai-sampai memilih untuk tidak memilih sebagai bentuk protes.
Bagaimana dengan janji-janji kampanye? Kita lihat saja.
Bagi anak muda dan pemilih pemula, ini pelajaran penting. Politik bukan cuma soal mencoblos saat pemilu. Ini soal suara kita, masa depan kita. Kalau partai politik tidak mau mendengar, mungkin sudah saatnya kita yang muda-muda ini yang bergerak. Entah dengan bergabung ke partai untuk mengubah dari dalam, atau menciptakan gerakan politik baru yang benar-benar mendengarkan suara rakyat. Sebab sampai hari ini, mereka (partai politik) hanya mengejar kepentingan elit politik. Kemelaratan rakyat hanya menjadi komoditas kampanye politik saja.
Leave a Reply