Sudah 17 tahun berlalu sejak aku menulis “Jihad Terlarang”, kukira novel yang cuma 368 halaman itu sudah terkubur oleh debu waktu. Ternyata aku keliru. Masih saja ada pembaca baru, terutama dari kalangan mahasiswa dan pelajar, yang menemukan dan mengupas novel itu dengan antusiasme yang mengejutkanku.
Bulan ini saja, ada dua perbincanganku dengan orang yang kutemui di luar dugaan. Pada 16 dan 19 November 2024. Itu bukan kejadian pertama. Sebelum-sebelumnya juga masih kutemui anak muda yang waktu berkenalan dan ngajak ngobrol tentang JT (singkatan untuk Jihad Terlarang) selalu bikin aku mikir, “Lah, masih ada yang baca?” atau “Masa sih, masih ada yang membahas JT?”
Kadang aku mikir: apa yang bikin mereka, generasi yang lahir dan tumbuh di era digital, menemukan resonansi dalam kisah yang kutulis berdasarkan pengalaman di era 80-90an? Mungkinkah karena, meski zaman berubah, pola-pola yang saya ceritakan dalam JT relevan sama mereka?
Dalam JT, anak muda bernama Royan direkrut ke dalam gerakan Islam underground. Prosesnya masih sangat jadul seperti pertemuan tatap muka, diskusi di masjid, melalui buku, surat, telepon umum, di kampus, atau pengajian rahasia. Kini anak-anak muda menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks. Mereka hidup di dunia di mana radikalisasi bisa saja terjadi melalui scroll media sosial, di mana algoritma dengan cerdik menggiring mereka dari satu konten ekstrem ke konten lainnya. Mungkin mereka mengidentifikasi diri dengan kebimbangan Royan – bergulat dengan berbagai “kebenaran” yang ditawarkan di era digital, yang tentunya lebih cepat dan lebih intens memerangkap mereka.
Para pembaca muda ini justru menangkap lapisan-lapisan makna yang bahkan tidak aku sadari saat menulis novel JT. Mereka melihat paralelnya dengan fenomena toxic positivity dalam komunitas agama online, atau bagaimana “infak wajib” yang aku ceritakan di JT sama saja dengan monetisasi konten fanatisme keagamaan yang mereka temui di media sosial. Jadi mereka membaca kisah Royan bukan sebagai sejarah, tetapi sebagai peringatan tentang bagaimana radikalisasi, monetasi fanatisme agama melalui konten digital, sama substansinya dengan apa yang dialami Royan dulu.
Yang juga mengejutkanku saat mendengar kesan mereka (Genzi) adalah, mereka bilang, aku menceritakan keberanian Royan saat mempertanyakan doktrin yang dianggap kebenaran mutlak. Ternyata sikap Royan itu beresonansi dengan mereka (digital native) yang juga harus berani melawan echo chamber, post truth, dan confirmation bias di media sosial.
Dari beberapa kali obrolan itu aku membenarkan ungkapan, karya sastra tidak akan lapuk dimakan zaman karena ia berbicara tentang pengalaman manusia yang fundamental. Pencarian makna, pergulatan dengan identitas, keberanian untuk mempertanyakan, dan perjalanan menemukan kebenaran adalah tema-tema universal yang melampaui batasan waktu. Teknologi boleh berubah, tapi kegalauan jiwa manusia dan kegelisahan intelektual tetap sama.
Kukira anak sekarang males baca novel (cetak) tapi ternyata mereka senang baca novel karena bisa menemukan apa yang tidak mereka dapatkan dari perseliweran konten medsos yang biasanya singkat, atau sudah dimutilasi (short video). Dengan membaca novel mereka mendapatkan ruang untuk merenungkan secara mendalam tentang kompleksitas persoalan radikalisme dan ekstremisme. Mereka juga menghargai kejujuran novel JT dalam menggambarkan bagaimana seseorang bisa terpikat pada ideologi ekstrem, dan bagaimana proses melepaskan diri dari cengkeraman kelompok yang merasa paling benar di dunia bukanlah perjalanan yang mudah.
Yang paling mengharukan, beberapa pembaca mengaku bahwa novel ini membantu mereka memahami teman atau kerabat yang mulai menunjukkan tanda-tanda radikalisasi. Mereka belajar bahwa menghadapi ekstremisme membutuhkan lebih dari sekadar konfrontasi, yaitu butuh empati, kesabaran, dan pemahaman tentang bagaimana seseorang bisa sampai pada titik itu.
Sejujurnya Jihad Terlarang kutulis sebagai jawaban atas pertanyaan teman-temanku di masa lalu: “kenapa aku keluar dari gerakan underground?”. Tak kusangka beberapa tahun kemudian, JT menjadi jembatan dialog antar generasi. Ia membantu generasi muda memahami bahwa pergulatan mereka dengan ekstremisme di dunia digital bukanlah fenomena baru. Hanya bentuknya yang berubah. Dan mungkin dalam memahami pola-pola lama ini, mereka bisa lebih bijak menghadapi tantangan-tantangan baru.
Kepada para pembaca muda, terima kasih telah memberi nyawa baru pada kisah ini. Kalian membuktikan bahwa sebuah cerita yang ditulis dengan kejujuran, betapapun beratnya pengakuan yang terkandung di dalamnya, akan selalu menemukan pembacanya. Dan mungkin dalam proses membaca dan merenungkan, kita semua bisa belajar untuk menjadi lebih bijak dalam menyikapi ekstremisme yang terus bermutasi mengikuti perkembangan zaman.
Leave a Reply