Mengapa harga buku di Indonesia terasa mahal? Pertanyaan ini mungkin sering muncul saat kita mengunjungi toko buku. Dalam sebuah perbincangan di podcast Unboxing Friends, DJ, seorang editor senior dengan pengalaman dua dekade di industri penerbitan, membongkar anatomi harga buku yang ternyata menyimpan kompleksitas tersendiri.
Perjalanan Sebuah Naskah
Sebelum membahas harga, penting untuk memahami proses lahirnya sebuah buku. DJ menjelaskan bahwa sebuah naskah harus melalui serangkaian tahapan quality control yang ketat. Dimulai dari Dewan Redaksi yang menyeleksi naskah, proses ini melibatkan editor bahasa, editor isi, desainer cover, hingga proofreader yang memastikan tidak ada kesalahan ejaan.
“Proses memproduksi satu buku bisa memakan waktu dua sampai empat bulan,” ungkap DJ. Editor tidak hanya memeriksa naskah, tetapi juga merancang keseluruhan konsep buku, termasuk desain sampul dan tata letak. Setiap detail diperhatikan untuk menghasilkan buku yang berkualitas.
Proses lahirnya sebuah buku dimulai dari seleksi naskah oleh Dewan Redaksi. “Editor itu sudah berperan dari mulai pemilihan naskah,” jelas DJ. Tidak semua naskah bagus akan diterbitkan. Pertimbangannya bukan hanya kualitas, tetapi juga potensi pasar. “Buku yang diterbitkan itu tidak harus buku yang paling bagus, tapi buku yang kemungkinan laku,” tambahnya.
“Dalam satu kurun waktu, editor bisa mengerjakan dua sampai tiga buku bersamaan,” ungkap DJ, menjelaskan kompleksitas proses produksi buku. Setiap tahap harus melalui quality control yang ketat untuk memastikan kualitas akhir yang baik.
Membedah Komponen Biaya
Yang mengejutkan, biaya editing, layout, dan proses kreatif lainnya ternyata hanya menyumbang sekitar 20-30% dari harga akhir buku. “Dari harga buku Rp10.000, biaya produksi dari mulai editing, terjemahan, editing layout sampai siap cetak itu paling ada di kisaran Rp2.000-3.000,” jelas DJ.
Komponen terbesar justru ada pada biaya cetak yang bisa mencapai 60-70% dari total biaya produksi. “Kalau biaya produksinya misalnya habis Rp15-20 juta, untuk biaya cetaknya bisa butuh Rp100 sampai 200 juta untuk 3.000 eksemplar,” tambahnya. Tingginya biaya kertas menjadi faktor utama pembengkakan biaya cetak.
Belum lagi margin untuk distributor dan toko buku yang bisa mencapai 40% dari harga jual. “Penerbit cuma kebagian 60%. Itu pun harus dibagi buat biaya operasional, buat penulis, buat karyawan. Jadi kalau dibersihnya itu paling cuma dapat di kisaran antara 20-25%,” ungkap DJ.
Minat Baca Rendah? Nggak!
Di tengah tingginya harga buku, muncul anggapan bahwa minat baca masyarakat Indonesia rendah. Namun, DJ membantah hal tersebut. “Yang rendah itu minat beli, bukan minat baca,” tegasnya.
Bukti nyatanya terlihat pada event pameran buku besar seperti Indonesia Book Fair, Jakarta Book Fair, dan Islamic Book Fair. Ketika buku dijual dengan diskon besar, antusiasme masyarakat sangat tinggi. “Itu kan sebenarnya sebuah indikator yang menunjukkan bahwa sebenarnya minat baca tetap ada. Cuma mungkin selama ini terhalang oleh tingginya harga buku,” jelas DJ.
“Biasanya sebuah buku itu ada masa edarnya. Kalau dalam sekian bulan penjualannya tidak lebih dari 10 atau 20, maka dia diturunkan dari rak buku dan masuk ke gudang penerbit,” jelas DJ. Buku-buku ini kemudian dijual dalam pameran dengan diskon 60-70% dan tetap laris, menunjukkan bahwa minat baca sebenarnya ada, hanya terhalang oleh faktor harga.
Era digital seharusnya bisa menjadi solusi untuk masalah ini. Tanpa biaya cetak yang tinggi, buku digital seharusnya bisa dijual lebih murah. Namun, industri penerbitan masih mencari model bisnis yang tepat untuk menghasilkan keuntungan dari format digital, sambil mengatasi masalah pembajakan.
Btw, kapan terakhir kamu beli buku? Berapa harganya?
Leave a Reply