Aku yakin gak ada yang kaget melihat mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) masih leluasa mengendalikan bisnis peradilan. Di negara korup ini, modelan kayak gini sudah lazim terjadi. Biasanya yang kaget malah pejabat kementerian. Rakyat sih dah pahamlah.
Setelah nyengir menyaksikan tertangkapnya Hasbi Hasan, aku tertawa membaca penangkapan Zarof Ricar. Mestinya dua kasus ini membuka mata kita tentang betapa dalamnya akar mafia peradilan di Indonesia. Mereka tertangkap mungkin dikorbankan sama yang lebih kakap. Artinya? Pahamlah klen!
7 Presiden sudah berkoar-koar memberantas korupsi, namun mafia peradilan makin kokoh dan tangguh melawan berbagai kampanye anti korupsi. Apakah Presiden ke 8 bisa menuntaskan?
Ini bukan sekadar cerita tentang suap-menyuap. Ini adalah drama tentang jejaring kekuasaan yang terjalin rapi, dimana “ada sekelompok elit” yang memegang kunci-kunci penting. Mereka sudah tidak duduk di kursi resmi, tapi tangan-tangan mereka masih mampu menggerakkan boneka-boneka dalam sistem peradilan.
Bangsat-bangsat the unthouchables ini adalah gurita raksasa yang menakutkan dalam bisnis peradilan di Indonesia. Kok bisnis? Ya, emang gitu, Malih.
Kasus pembebasan Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan Dini Sera, adalah bukti. Bagaimana mungkin seorang mantan pejabat MA bisa mengatur vonis bebas? Ini jelas permainan karena sistem peradilan kita telah menjadi “pasar gelap”, dimana keadilan bisa ditawar seperti barang dagangan.
Korupsi di lembaga peradilan bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri. Ini seperti sarang laba-laba yang rumit – setiap benangnya terhubung satu sama lain. Ada hakim yang memberi vonis, ada pengacara yang menawarkan modus, ada perantara yang mengatur aliran dana, ada mantan pejabat yang membuka pintu, dan ada sistem pengawasan yang sengaja dibuat lemah. Semuanya bergerak dalam satu orkestrasi yang rapi.
Yang lebih menyedihkan, “pasar” ini tampaknya memiliki sistem yang terukur. Ada “tarif” untuk setiap jenis perkara, ada jalur-jalur khusus yang harus dilalui, dan ada orang-orang tertentu yang harus dihubungi. Ini bukan kejahatan dadakan, tapi kejahatan yang telah dirancang dengan sangat teliti yang telah berlangsung lama.
Penangkapan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam kasus yang sama menunjukkan betapa terstrukturnya kejahatan ini. Dari tingkat pengadilan negeri hingga ke MA, semuanya tersambung dalam satu jaringan. Bahkan, temuan adanya aliran dana ke sejumlah hakim membuktikan bahwa ini adalah operasi yang sangat terorganisir.
Badan Pengawas MA seolah menjadi “stempel” yang melegalkan semua praktik ini. Mengorbankan ribuan hakim yang masih menjunjung integritas, yang harus menanggung dampak moral akibat ulah jejaring mafia peradilan. Kepercayaan masyarakat terhadap mereka dan terhadap lembaga peradilan pun semakin terkikis.
Stop! Berhenti memandang korupsi di lembaga peradilan sebagai “kenakalan” oknum. Ini parah, bos! Ini kejahatan terorganisir yang membutuhkan pemberantasan secara sistematis. Gak cukup dengan kampanye anti korupsi yang anggarannya milyaran. Perlu keberanian nyata dari Presiden untuk membantai gurita korupsi di negara ini. Apakah Prabowo berani menangkap gurita korupsi di Indonesia? Kita lihat saja, panggungnya baru dibuka.
Leave a Reply